40 CONTOH PERBUATAN SYIRIK
Assalamualaikum Wr.Wb
Selamat Sore Sahabatku Pertama Tama Marilah Kita Ucapkan Alhamdulillah Karena PAda Sore Ini Saya Bisa Posting Artikel Mengenai 40 CONTOH SIRIK, Sebelumnya Saya Himbau Pada Anda Semua Yang Baca Postingan Ini Agar Menyiapkan Camilah,Kopi & Rokok , Karena Materi Kali Ini Sangat Banyak Dan Mungkin Anda Akan Merasa Lapar Dan Lupa Waktu Saat MEmbaca Artikel Ini :) Langsung Saja
Tauhid adalah konsep dalam aqidah Islam
yang menyatakan keesaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Mengamalkan tauhid
merupakan konsekuensi dari kalimat syahadat yang telah diikrarkan oleh seorang
muslim. Kalimat tauhid Laa ilaaha illallah (tiada ilah selain Allah)
artinya secara esoterik maupun aplikatif adalah tiada sesuatupun yang diikuti
aturannya, dijauhi larangannya atau diibadati (diabdi/disembah) selain Allah.
Orang yang bertauhid disebut orang yang beriman (orang mukmin). Lawan dari
tauhid adalah syirik. Syirik menurut bahasa artinya bersekutu atau berserikat.
Sedangkan syirik menurut istilah artinya menjadikan sekutu bagi Allah, baik
dalam Zat-Nya, sifat-Nya, perbuatan-Nya, maupun dalam ketaatan yang seharusnya
ditujukan hanya untuk Allah semata. Dan orang yang berbuat syirik disebut orang
musyrik (ada dua golongan). Sudah
menjadi Sunnatullah bahwa
pertentangan antara tauhid vs syirik atau orang mukmin vs orang musyrik akan
selalu ada di segala zaman.
Semua rasul dari Nabi Adam 'alaihis
salam hingga Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus
Allah dengan misi yang sama yaitu menyeru umatnya agar mereka mentaati 3 (tiga)
prinsip ajaran tauhid sebagai berikut:
• Beribadah (menyembah/mengabdi) kepada
Allah
• Meninggalkan perbuatan syirik
• Menjauhi thaghut
• Meninggalkan perbuatan syirik
• Menjauhi thaghut
Hal tersebut sebagaimana firman-Nya Subhanahu
Wa Ta'ala:
Ibadatilah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya
dengan sesuatupun... (QS. An-Nisa: 36)
Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu
(Muhammad) dan kepada (rasul-rasul) yang sebelummu: "Jika kamu
mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalanmu dan tentulah kamu
termasuk orang-orang yang merugi. Karena itu, maka hendaklah Allah saja yang
kamu ibadati..." (QS. Az-Zumar: 65-66)
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul
pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Ibadatilah Allah (saja) dan
jauhilah thaghut."... (QS. An-Nahl: 36)
Perbuatan syirik merupakan kezaliman yang
besar berdasarkan firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala:
Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata
kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku,
janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah)
adalah benar-benar kezaliman yang besar." (QS. Luqman: 13)
Ada 3 (tiga) sebab munculnya perilaku
syirik, yaitu sebagai berikut:
• Al jahlu (kebodohan)
• Dhai’ful iman (lemahnya iman)
• Taqlid (ikut-ikutan secara membabi-buta)
• Dhai’ful iman (lemahnya iman)
• Taqlid (ikut-ikutan secara membabi-buta)
Barangsiapa yang berbuat syirik maka
hapuslah pahala segala amal perbuatannya, berdasarkan firman Allah Subhanahu
Wa Ta'ala:
Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu
(Muhammad) dan kepada (rasul-rasul) yang sebelummu: "Jika kamu
mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalanmu dan tentulah kamu
termasuk orang-orang yang merugi. (QS. Az-Zumar: 65)
...Seandainya mereka mempersekutukan
Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan. (QS.
Al-An'am: 88)
Barangsiapa yang berbuat syirik maka dia telah
berbuat dosa yang besar dan dosanya itu tidak akan diampuni, berdasarkan firman
Allah Subhanahu Wa Ta'ala:
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni
dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi
siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka
sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. (QS. An-Nisa: 48)
Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa
mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan dia mengampuni dosa yang selain
syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan
(sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.
(QS. An-Nisa: 116)
Barangsiapa yang berbuat syirik maka Allah
mengharamkan surga kepadanya, dan tempatnya adalah neraka, berdasarkan firman-Nya
Subhanahu Wa Ta'ala:
...Sesungguhnya orang yang mempersekutukan
(sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan
tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim (musyrik) itu
seorang penolongpun. (QS. Al-Maidah: 72)
Orang-orang beriman tidak boleh memintakan
ampun bagi orang-orang musyrik meskipun anggota keluarga sendiri, berdasarkan
firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala:
Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan
orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang
musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya), sesudah
jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka
jahanam. (QS. At-Taubah: 113)
Orang-orang musyrik itu halal darah dan
hartanya, bahkan Allah memerintahkan untuk membunuh mereka di mana saja
menjumpai mereka, kecuali mereka bertaubat, berdasarkan firman-Nya Subhanahu
Wa Ta’ala:
...bunuhlah orang-orang musyrikin itu di
mana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan
intailah di tempat pengintaian. Jika mereka bertaubat dan mendirikan shalat dan
menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan... (QS.
At-Taubah: 5)
Demikian juga Nabi Musa 'alaihis salam dulu
memerintahkan kaumnya agar membunuh orang-orang musyrik di antara mereka
yang terlibat penyembahan patung anak lembu yang terbuat dari emas, akan
tetapi dibunuhnya mereka dalam hal ini justru sebagai bentuk taubat
mereka kepada Allah, sebagaimana firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada
kaumnya: "Hai kaumku, sesungguhnya kamu telah menganiaya dirimu sendiri
karena kamu telah menjadikan anak lembu (sembahanmu), maka bertaubatlah kepada
sang Pencipta yang menjadikan kamu dan bunuhlah dirimu. Hal itu adalah lebih
baik bagimu pada sisi sang Pencipta yang menjadikan kamu; maka Dia akan
menerima taubatmu... (QS. Al-Baqarah: 54)
Khusus para pelaku syirik dari
golongan Yahudi dan Nasrani, Allah menamakan mereka ahli kitab (bukan
orang musyrik) dan memerintahkan untuk memerangi mereka sampai mereka membayar jizyah, yaitu pajak per kepala yang
dipungut oleh pemerintah Islam sebagai imbangan bagi keamanan diri mereka,
berdasarkan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
Perangilah orang-orang yang tidak beriman
kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian, dan mereka tidak
mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan rasul-Nya dan tidak beragama
dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al
Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan
tunduk. (QS. At-Taubah: 29)
Berikut 40 (empat puluh) contoh perbuatan
syirik berdasarkan keterangan dari Al Quran dan As Sunnah. Jumlah 40 ini tidak
bermaksud membatasi, tetapi hanya sekedar memberikan contoh saja, yaitu sebagai
berikut:
1. Sembahyang kepada
makhluk tak bernyawa
Apakah makhluk itu murni disembah/dipuja
atau hanya sebagai simbol bagi rabb/ilah (tuhan) selain Allah,
umpamanya menyembah/memuja patung, kuburan, pohon, batu, matahari, bulan,
bintang, dan lain-lain. Penyembahan/pemujaan terhadap makhluk-makhluk tersebut
adalah perbuatan syirik akbar* karena telah mengada-adakan dan
mengibadati ilah selain Allah, berdasarkan firman-Nya Subhanahu Wa
Ta’ala:
(Ingatlah), ketika Ibrahim berkata kepada
bapaknya dan kaumnya: "Patung-patung apakah ini yang kamu tekun beribadat
kepadanya?" (QS. Al-Anbiya: 52)
Mereka (Bani Israel) menjawab: "Kami
akan tetap menyembah patung anak lembu (emas) ini, hingga Musa kembali kepada
kami." (QS. Thaha: 91)
Aku (burung Hudhud) mendapati dia (Ratu
Balqis) dan kaumnya sujud kepada matahari, tidak kepada Allah;... (QS. An-Naml:
24)
Apakah mereka mempersekutukan (Allah
dengan) berhada-berhala yang tak dapat menciptakan sesuatupun? Sedangkan
berhala-berhala itu sendiri buatan orang. (QS. Al-A'raf: 191)
Yang mereka sembah selain Allah itu, tidak
lain hanyalah berhala, dan (dengan menyembah berhala itu) mereka tidak lain
hanyalah menyembah syaitan yang durhaka, (QS. An-Nisa: 117)
2. Mengaku sebagai Allah
atau rabb/ilah (tuhan) selain Allah
Arbab adalah bentuk jamak dari rabb yang
berarti pengatur atau yang mengatur. Jadi, Rabb (Allah) adalah Zat Yang
mengatur atau Yang menentukan hukum. Sedangkan alihah merupakan bentuk
jamak dari ilah yang berarti segala sesuatu yang diabdi, ditaati, atau
disembah. Ilah bisa berupa manusia, barang, kesenangan atau hal-hal yang
mendatangkan kesenangan maupun ketenangan. Kalimat tauhid Laa ilaaha
illallah (tiada ilah selain Allah) artinya secara esoterik maupun aplikatif
adalah tiada sesuatupun yang diikuti aturannya, dijauhi larangannya atau
diibadati (disembah/diabdi) selain Allah dengan
kepengaturan-Nya/ajaran-Nya sebagai Rabb. Dengan demikian siapa saja yang
mengaku sebagai Allah atau rabb/ilah selain Allah dengan tujuan atau
alasan apapun, maka ia telah melakukan perbuatan syirik akbar karena telah
menduakan keesaan Allah, berdasarkan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
(Fir'aun) berkata: "Akulah rabb-mu
yang paling tinggi." Maka Allah mengazabnya dengan azab di akhirat dan
azab di dunia. (QS. An-Nazi'at: 24-25)
Dan barangsiapa yang mengatakan di antara
mereka; “Sesungguhnya aku adalah ilah selain Allah” maka Kami membalas dia
dengan Jahannam, begitulah Kami membalas orang-orang yang zalim (musyrik). (QS.
Al-Anbiya: 29)
Tidak wajar bagi seseorang manusia yang
Allah berikan kepadanya Al Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada
manusia: "Hendaklah kamu menjadi orang-orang yang mengibadatiku selain
Allah... (QS. Ali Imran: 79)
3. Mengaku sebagai anak
Allah
Baik mengaku secara biologis maupun hanya
sekedar kiasan, siapapun yang mengaku sebagai anak Allah maka ia telah
berbuat syirik akbar karena telah merendahkan Zat Khalik ke level makhluk-Nya,
berdasarkan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
Orang-orang Yahudi dan Nasrani mengatakan:
"Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya."
Katakanlah: "Maka mengapa Allah menyiksa kamu karena dosa-dosamu?"
(Kamu bukanlah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya), tetapi kamu adalah
manusia (biasa) di antara orang-orang yang diciptakan-Nya... (QS. Al-Maidah:
18)
...mereka membohong (dengan mengatakan):
"Bahwasanya Allah mempunyai anak laki-laki dan perempuan", tanpa
(berdasar) ilmu pengetahuan. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari sifat-sifat
yang mereka berikan. Dia Pencipta langit dan bumi. Bagaimana Dia mempunyai anak
padahal Dia tidak mempunyai isteri. Dia menciptakan segala sesuatu; dan Dia
mengetahui segala sesuatu. (QS. Al-An'am: 100-101)
Katakanlah: "Dia-lah Allah, Yang Maha
Esa. Allah yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan
tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia."
(QS. Al-Ikhlash: 1-4)
Dan katakanlah: "Segala puji bagi
Allah Yang tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai sekutu dalam kerajaan-Nya
dan Dia bukan pula hina yang memerlukan penolong dan agungkanlah Dia dengan
pengagungan yang sebesar-besarnya." (QS. Al-Isra: 111)
...Sesungguhnya Allah Ilah yang Esa, Maha
Suci Allah dari mempunyai anak, segala yang di langit dan di bumi adalah
kepunyaan-Nya. Cukuplah Allah menjadi Pemelihara. (QS. An-Nisa: 171)
4. Mengatakan atau
menetapkan bahwa Allah mempunyai anak
Barangsiapa yang berbuat demikian berarti
ia telah menyamakan sifat Allah dengan makhluk-Nya dan tentu saja hal ini
merupakan perbuatan syirik akbar, berdasarkan firman-Nya Subhanahu Wa
Ta’ala:
Orang-orang Yahudi (Yaman) berkata:
"Uzair itu anak Allah" dan orang-orang Nasrani berkata: "Al
Masih itu anak Allah". Demikianlah itu ucapan mereka dengan mulut mereka,
mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah
mereka, bagaimana mereka sampai berpaling? (QS. At-Taubah: 30)
Mereka (orang-orang kafir) berkata:
"Allah mempunyai anak". Maha Suci Allah, bahkan apa yang ada di
langit dan di bumi adalah kepunyaan Allah; semua tunduk kepada-Nya. (QS.
Al-Baqarah: 116)
Maka apakah patut kamu (hai orang-orang
musyrik) menganggap al Lata dan al Uzza, dan Manah yang ketiga, yang paling
terkemudian (sebagai anak-anak perempuan Allah)? (QS. An-Najm: 19-20)
Katakanlah: "Jika benar Yang Maha
Pemurah mempunyai anak, maka akulah (Muhammad) orang yang mula-mula memuliakan
(anak itu)." Maha Suci Rabb Yang empunya langit dan bumi, Rabb Yang
empunya 'Arsy, dari apa yang mereka sifatkan itu. (QS. Az-Zukhruf: 81-82)
Allah sekali-kali tidak mempunyai anak,
dan sekali-kali tidak ada ilah (yang lain) beserta-Nya, kalau ada ilah
beserta-Nya, masing-masing ilah itu akan membawa makhluk yang diciptakannya,
dan sebagian dari ilah-ilah itu akan mengalahkan sebagian yang lain. Maha Suci
Allah dari apa yang mereka sifatkan itu, Yang mengetahui semua yang ghaib dan
semua yang nampak, maka Maha Tinggilah Dia dari apa yang mereka persekutukan.
(QS. Al-Mu'minun: 91-92)
...mereka membohong (dengan mengatakan):
"Bahwasanya Allah mempunyai anak laki-laki dan perempuan", tanpa
(berdasar) ilmu pengetahuan. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari sifat-sifat
yang mereka berikan. Dia Pencipta langit dan bumi. Bagaimana Dia mempunyai anak
padahal Dia tidak mempunyai isteri. Dia menciptakan segala sesuatu; dan Dia
mengetahui segala sesuatu. (QS. Al-An'am: 100-101)
Dan mereka menetapkan bagi Allah anak-anak
perempuan. Maha Suci Allah, sedang untuk mereka sendiri (mereka tetapkan) apa
yang mereka sukai (yaitu anak-anak laki-laki). (QS. An-Nahl: 57)
5. Mengatakan atau
mengajarkan bahwa Allah ialah Nabi Isa 'alaihis salam atau salah
satu oknum Trinitas
Secara khusus hal ini ditujukan kepada
orang-orang Nasrani yang mengatakan dan mengajarkan bahwa Allah ialah Isa
Al-Masih dan bahwa keduanya adalah oknum-oknum Trinitas (Allah, Isa
Al-Masih, Ruhul Qudus). Namun demikian, tidak menutup kemungkinan adanya
orang-orang selain Nasrani yang berpandangan seperti itu. Barangsiapa yang
mengatakan, mengajarkan, atau berpandangan bahwa Allah ialah Nabi Isa 'alaihis
salam atau salah satu oknum Trinitas, maka dia telah berbuat syirik akbar
berdasarkan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang
yang berkata: "Sesungguhnya Allah itu ialah Al Masih putera Maryam."
Katakanlah: "Maka siapakah (gerangan) yang dapat menghalang-halangi
kehendak Allah, jika Dia hendak membinasakan Al Masih putera Maryam itu beserta
ibunya dan seluruh orang-orang yang berada di bumi kesemuanya?"... (QS.
Al- Maidah: 17)
Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang
yang berkata: "Sesungguhnya Allah ialah Al Masih putera Maryam",
padahal Al Masih (sendiri) berkata: "Hai Bani Israil, ibadatilah Allah
Rabb-ku dan Rabb-mu." Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu
dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya
ialah neraka... (QS. Al- Maidah: 72)
Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang
berkata: "Bahwasanya Allah salah seorang dari yang Tiga (Trinitas)",
padahal sekali-kali tidak ada ilah selain dari Ilah Yang Esa... (QS. Al-
Maidah: 73)
...Maka berimanlah kamu kepada Allah dan
rasul-rasul-Nya dan janganlah kamu mengatakan: "Tiga (Trinitas)",
berhentilah (dari ucapan itu). (Itu) lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah
Ilah Yang Maha Esa, Maha Suci Dia dari mempunyai anak... (QS.
An-Nisa: 171)
6. Menyembah malaikat
atau nabi tertentu atau menjadikan mereka sebagai arbab
Arbab adalah bentuk jamak dari rabb yang
berarti pengatur atau yang mengatur. Jadi, Rabb (Allah) adalah Zat Yang
mengatur atau Yang menentukan hukum. Mengatur alam raya ini, baik secara
kauniy (hukum alam) maupun secara syar’iy (syari’at) sepenuhnya merupakan hak
Allah sebagai Rabb, sebagaimana firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
...Menetapkan hukum itu hanyalah hak
Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling
baik." (QS. Al-An’am: 57)
...Menetapkan hukum itu hanyalah hak
Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak mengibadati selain Dia. Itulah
agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (QS. Yusuf:
40)
...dan Dia tidak mengambil seorangpun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan
hukum (keputusan)." (QS. Al-Kahfi: 26)
Karena itu, barangsiapa yang menyembah
atau memuja malaikat atau nabi, atau menjadikan mereka sebagai arbab (rabb-rabb
selain Allah), maka dia telah berbuat syirik akbar karena hal itu berarti
telah merampas sifat ketuhanan dari Allah dan diberikan kepada
malaikat atau nabi, berdasarkan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
Dan (tidak wajar pula baginya) menyuruhmu
menjadikan malaikat dan para nabi sebagai arbab. Apakah (patut) dia menyuruhmu
berbuat kekafiran di waktu kamu sudah (menganut agama) Islam? (QS. Ali
Imran: 80)
...dan (juga mereka menjadikan rabb
kepada) Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh beribadah kepada
Ilah yang Esa, tidak ada ilah selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka
persekutukan. (QS. At-Taubah: 31)
7. Mengkultuskan dan
mengagungkan orang-orang saleh tertentu
Hal ini terutama kepada mereka yang sudah
meninggal dunia, misalnya para penganut Syiah, khususnya Rafidhah,
yang mengkultuskan dan mengagungkan Ali bin Abu Thalib dan putranya, Husein bin
Ali, radhiyallahu 'anhum pada setiap ritual tertentu dengan
melukai anggota badan hingga berdarah-darah dan memanggil-manggil: "Ya
Ali!" dan "Ya Husein!" secara
berulang-ulang sambil meratapi terbunuhnya mereka dan membenci serta mengutuk
orang-orang saleh lainnya yang dianggap menjadi lawan mereka pada masa itu.
Demikian pula ketika melaksanakan ibadah haji di Mekah, para Rafidhah selalu
memuja Husein dengan berseru-seru: "Labbaika Ya Husein!"
Selain itu, banyak juga orang yang
mengkultuskan dan memuja-muja para wali. Pengkultusan inilah yang mendorong
sebagian kaum muslimin untuk berkunjung ke kuburan para wali. Meski harus
merogoh kocek dalam-dalam (padahal uangnya pas-pasan) dan menempuh perjalanan
yang jauh serta berpeluh, mereka tidak peduli karena mereka berkeyakinan bahwa
mengunjungi kuburan para wali adalah perbuatan yang memiliki keutamaan, apalagi
fenomena ini telah berlangsung sekian lama dan rutin dilakukan oleh sebagian
penduduk negeri. Di antara para pengunjung tersebut ada yang ingin segera dapat
jodoh, ingin punya momongan, ingin jadi orang kaya, ingin dagangannya laris,
ingin sembuh dari penyakit, dan sebagainya. Mereka yakin, keinginan atau
cita-cita mereka bisa terkabul dengan mengunjungi kuburan para wali dan di sana
biasanya mereka mengambil atau memuja benda-benda tertentu seperti air, tanah,
keris, atau lainnya serta melakukan sawer sebagai syarat agar keinginan
mereka terkabul. Tidak masalah meskipun mereka harus membayar mahal untuk syarat
tersebut yang penting cita-cita mereka tercapai.
Manakala seseorang meyakini bahwa arwah
orang-orang saleh yang dikultuskan/dipuja tersebut bisa mendatangkan syafa'at
dan pahala kepadanya, memberikan efek langsung di dalam kehidupannya atau
menyebabkan keinginannya terkabul, maka dia telah berbuat syirik akbar karena
telah menafikan Allah sebagai Rabb Maha Pemberi rahmat, berdasarkan firman-Nya Subhanahu
Wa Ta’ala:
Orang-orang (saleh) yang mereka seru itu,
mereka sendiri mencari jalan kepada Rabb mereka siapa di antara mereka yang
lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya;
sesungguhnya azab Rabb-mu adalah suatu yang (harus) ditakuti. (QS. Al-Isra: 57)
...Dan orang-orang yang kamu seru selain
Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari. Jika kamu menyeru
mereka, mereka tiada mendengar seruanmu; dan kalau mereka mendengar, mereka
tidak dapat memperkenankan permintaanmu. Dan di hari kiamat mereka akan
mengingkari kemusyirikanmu dan tidak ada yang dapat memberi keterangan kepadamu
sebagai yang diberikan oleh Yang Maha Mengetahui. (QS. Fathir: 13-14)
8. Menyembah atau memuja
jin
Umpamanya ada orang mau membangun rumah,
konon katanya di lokasi yang akan dibangun rumah itu terdapat jin penunggunya,
sehingga ketika hendak membangun rumah, orang tersebut menuju lokasi itu
(jin) dengan sesuatu hal berupa tumbal seperti: memotong ayam lalu dikubur
sebelum dibuat pondasi rumah dalam rangka supaya tidak digangu oleh jin
tersebut. Ini berarti jin tersebut adalah sesuatu yang dituju (diibadati) oleh
pemilik rumah dengan sesuatu (tumbal) dalam rangka tolak bala. Barangsiapa
berbuat demikian atau semisalnya (membakar kemenyan dan lain-lain untuk
menyembah/memuja jin), maka dia telah melakukan perbuatan syirik akbar karena
telah menjadikan jin sebagai ilah selain Allah (sekutu bagi Allah), berdasarkan
firman-Nya Subhanahu Wa Ta'ala:
Dan (ingatlah) hari (yang di waktu itu)
Allah mengumpulkan mereka semuanya kemudian Allah berfirman kepada malaikat:
"Apakah mereka ini dahulu mengibadati kamu?" Malaikat-malaikat itu
menjawab: "Maha Suci Engkau. Engkaulah pelindung kami, bukan mereka;
bahkan mereka telah mengibadati jin; kebanyakan mereka beriman kepada jin
itu." (QS. Saba: 40-41)
Dan mereka (orang-orang musyrik) menjadikan
jin itu sekutu bagi Allah, padahal Allah-lah yang menciptakan jin-jin itu...
(QS. Al-An'am: 100)
Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu
hai Bani Adam supaya kamu tidak mengibadati syaitan? Sesungguhnya syaitan itu
adalah musuh yang nyata bagi kamu. (QS. Yasin: 60)
9. Menuhankan atau
menomorsatukan hawa nafsu
Hawa nafsu adalah kecenderungan untuk
melakukan keburukan. Seseorang yang menuhankan hawa nafsu (menjadikan hawa
nafsu sebagai ilah-nya), ia mengutamakan keinginan nafsunya di atas cintanya
kepada Allah. Dengan demikian ia telah mentaati hawa nafsunya dan menyembahnya
(padahal tidak ada ilah yang berhak disembah selain Allah). Jenis syirik ini
amat berbahaya, karena manusia telah dikuasai hawa nafsunya. Sehingga ia merasa
dirinya di atas segalanya, bahkan ada yang mengaku dirinya sebagai ilah/rabb
(tuhan) yang harus disembah dan ditaati. Orang yang terjerumus kedalam syirik
ini antara lain: Qarun, orang yang terkaya pada zamannya. Juga Fir’aun yaitu
orang yang menuhankan dirinya karena kesombongan akan pangkat dan kekuasaan.
Menuhankan hawa nafsu jelas-jelas
merupakan perbuatan syirik akbar, karena mereka lebih mempercayai hawa nafsunya
daripada Allah. Menuhankan hawa nafsu banyak macamnya, umpamanya ada orang yang
menginginkan suatu jabatan dengan harapan jabatan/kekuasaan itu dapat
mendapatkan kekayaan harta benda. Dengan berbagai cara dia akan terus berusaha
meraihnya walaupun caranya melanggar hukum Allah. Contoh lainnya, korupsi atau
mengambil harta secara batil. Jika ada orang yang terus-menerus melakukan
korupsi, apakah dia tahu atau tidak bahwa perbuatan itu dilarang Allah, berarti
dia lebih menuhankan atau menomorsatukan hawa nafsunya daripada Allah. Demikian
pula dengan perbuatan zina, memakan riba, main judi, dan perbuatan maksiat
lainnya yang dilakukan secara terus-menerus dan menganggapnya sebagai
perbuatan yang wajar (padahal Allah melarangnya). Itulah yang disebut
menuhankan hawa nafsu. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman tentang
perbuatan syirik ini:
Terangkanlah kepadaku tentang orang yang
menjadikan hawa nafsunya sebagai ilah-nya. Maka apakah kamu dapat menjadi
pemelihara atasnya? (QS. Al-Furqan: 43)
Maka pernahkah kamu melihat orang yang
menjadikan hawa nafsunya sebagai ilah-nya dan Allah membiarkannya berdasarkan
ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan
tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk
sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil
pelajaran? (QS. Al-Jatsiyah: 23)
Menurut Ibnu Katsir ketika menafsirkan QS.
Al-Jatsiyah: 23, yang dimaksud dengan "menjadikan hawa nafsunya sebagai
ilah-nya" adalah orang itu bertindak berdasarkan hawa nafsunya, apa yang
ia anggap baik, maka ia akan kerjakan, dan apa yang ia anggap jelek, maka ia
akan tinggalkan. Dan ketika menafsirkan QS. Al-Furqan: 43, beliau berkata:
"Kapan saja dia menilai baik sesuatu dan melihatnya sebagai suatu kebaikan
dari hawa nafsunya sendiri, maka itulah agama dan madzhabnya."
10. Berdoa kepada selain
Allah
Yaitu doa/permohonan (tholab) seperti
memohon suatu kemanfaatan atau terhindar dari suatu kemudharatan, apabila
dipersembahkan atau dimintakan kepada selain Allah maka termasuk perbuatan
syirik akbar jika tidak terpenuhi padanya tiga syarat:
-Permohonan tersebut mampu dikabulkan oleh
orang yang diminta,
-Orang tersebut masih hidup, dan
-Orang tersebut hadir dan/atau mampu mendengarkan permohonan kepadanya.
-Orang tersebut masih hidup, dan
-Orang tersebut hadir dan/atau mampu mendengarkan permohonan kepadanya.
Umpamanya berdoa/memohon kepada
orang-orang yang telah mati, makhluk-makhluk halus (hantu, gendoruwo, arwah
gentayangan, dan sebagainya), dewa/dewi berhala, tuhan-tuhan fiktif, dan
sebagainya. Mereka yang diminta ini sesungguhnya tidak dapat memberi manfaat
maupun mendatangkan mudharat (bahaya), karena itu berdoa/memohon kepada mereka
adalah perbuatan syirik akbar berdasarkan firman Allah Subhanahu Wa
Ta'ala:
Dan janganlah kamu memohon kepada selain
Allah, yang tidak dapat memberi manfaat dan tidak pula mendatangkan bahaya
kepadamu, jika kamu berbuat (hal itu), maka sesungguhnya kamu, dengan demikian,
termasuk orang-orang yang zalim (musyrik). (QS. Yunus: 106)
Dan siapakah yang lebih sesat daripada
orang yang memohon kepada selain Allah yang tiada dapat memperkenankan (doa)nya
sampai hari kiamat dan mereka lalai dari (memperhatikan) doa mereka? Dan
apabila manusia dikumpulkan (pada hari kiamat) niscaya sembahan-sembahan itu
menjadi musuh mereka dan mengingkari pemujaan-pemujaan mereka. (QS. Al-Ahqaf:
5-6)
Dan aku akan menjauhkan diri darimu dan
dari apa yang kamu seru selain Allah, dan aku akan berdoa kepada Rabb-ku,
mudah-mudahan aku tidak akan kecewa dengan berdoa kepada Rabb-ku. (QS. Maryam:
48)
Katakanlah: "Serulah mereka yang kamu
anggap (sebagai tuhan) selain Allah, mereka tidak memiliki (kekuasaan) seberat
zarrahpun di langit dan di bumi, dan mereka tidak mempunyai suatu sahampun
dalam (penciptaan) langit dan bumi dan sekali-kali tidak ada di antara mereka
yang menjadi pembantu bagi-Nya. (QS. Saba: 22)
Hai manusia, telah dibuat perumpamaan,
maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru
selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalatpun, walaupun
mereka bersatu menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka,
tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang
menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah. (QS. Al-Hajj: 73)
11. Menjadikan sesuatu
selain Allah sebagai perantara dalam berdoa kepada Allah
Perbuatan seperti ini banyak dilakukan
oleh orang-orang Syiah, khususnya Rafidhah, karena keyakinan dalam ajarannya,
yaitu bertawasul dengan
menjadikan imam-imam mereka yang telah meninggal dunia sebagai perantara dalam
berdoa kepada Allah. Sesungguhnya dalam Islam, berdoa cukup dilakukan langsung
kepada Allah tanpa melalui perantara, sebagaimana firman-Nya Subhanahu Wa
Ta’ala:
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya
kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku
mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka
hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman
kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. (QS. Al-Baqarah: 186)
Dan Rabb-mu berfirman: "Berdoalah
kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang
menyombongkan diri dari beribadah kepada-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam
keadaan hina dina." (QS. Al-Mu'min: 60)
Barangsiapa menjadikan sesuatu sebagai
perantara antara dirinya dengan Allah, dia memohon dan meminta kepadanya,
sungguh dia telah berbuat syirik akbar karena dia telah mengambil
wali/pelindung (jamak: aulia) selain Allah, dengan syarat:
-Dia berkeyakinan bahwa Allah itu tidak
akan menjawab doa orang yang memanjatkan doa kepada-Nya secara langsung karena
harus ada perantara antara Allah dengan makhluk dalam doa; atau
-Meyakini bahwa Allah itu menjawab doa si
perantara karena Allah itu membutuhkan perantara; atau
-Meyakini bahwa si perantara itu memiliki
hak yang wajib Allah tunaikan.
Umpamanya memohon pertolongan kepada orang
mati di kuburan keramat, dia yakin orang yang dimintai pertolongan tersebut
bukan pencipta tetapi hanya penghubung antara dirinya dengan Allah dan dia yakin
Allah akan mengabulkan permohonannya setelah si penghubung itu menyampaikan
permohonannya kepada Allah. Hal ini seperti yang dilakukan kaum musyrikin pada
masa lalu sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah Subhanahu Wa
Ta'ala:
Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama
yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil aulia
(pelindung-pelindung) selain Allah (berkata): "Kami tidak mengibadati
mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan
sedekat-dekatnya." Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka
tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki
orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar. (QS. Az Zumar: 3)
Dan mereka mengibadati selain daripada
Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak
(pula) kemanfaatan, dan mereka berkata: "Mereka itu adalah pemberi
syafa'at kepada kami di sisi Allah." Katakanlah: "Apakah kamu
mengabarkan kepada Allah apa yang tidak diketahui-Nya baik di langit dan tidak
(pula) di bumi?" Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka
persekutukan. (QS. Yunus: 18)
Adapun bertawasul dengan doa orang lain
yang masih hidup diperbolehkan, selama tidak memenuhi syarat-syarat di atas.
Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala ketika mengisahkan anak-anak
Nabi Ya'qub 'alaihis salam:
Mereka berkata: "Wahai ayah kami,
mohonkanlah ampun bagi kami terhadap dosa-dosa kami, sesungguhnya kami adalah
orang-orang yang bersalah (berdosa)." Ya'qub berkata: "Aku akan
memohonkan ampun bagimu kepada Rabb-ku. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Yusuf: 97-98)
12. Menjadikan sesuatu
sebagai andad (tandingan) bagi/selain Allah
Andad adalah bentuk jamak dari nidd yang
secara bahasa berarti tandingan. Sedangkan secara istilah, andad adalah sesuatu
yang memalingkan manusia dari tauhid (Islam) atau menjerumuskan seseorang
kepada kekafiran atau kemusyrikan, baik itu jabatan, harta, keluarga,
adat-istiadat, nasionalisme, maupun apa saja. Umpamanya seorang ayah yang sangat
sayang kepada anaknya, sedang si anak tersebut dalam keadaan sakit, lalu ada
orang yang menyarankan kepada si ayah tersebut agar si anak yang lagi sakit itu
dibawa ke dukun. Dikarenakan saking sayangnya kepada si anak tersebut akhirnya
si ayah datang ke dukun dan mengikuti apa yang disarankan oleh si dukun
tersebut. Selanjutnya ketika si anak itu pengen dibelikan sepeda motor baru
tapi si ayah tidak punya uang, karena saking sayangnya kepada si anak, si ayah
harus menghalalkan segala cara untuk memenuhi keinginan anaknya tersebut
seperti mencuri, korupsi, dan lain-lain. Maka dengan demikian si anak tersebut
telah memalingkan si ayah dari tauhid, dan berarti si anak telah menjadi andad.
Demikian pula seorang hakim yang
memutuskan perkara berdasarkan hukum
jahiliyah/thaghut (hukum buatan manusia, misal: KUHP) di sebuah negara demokrasi (misal:
NKRI), apakah si hakim sadar atau tidak bahwa
hal itu menyelisihi hukum Allah, tapi karena jabatan hakim yang dia jalani
harus memutuskan perkara berdasarkan hukum yang berlaku di negaranya
(hukum jahiliyah/thaghut), maka ini berarti si hakim telah menjadikan
jabatannya sebagai andad.
Mengadakan/menjadikan sesuatu sebagai
andad bagi/selain Allah adalah perbuatan syirik akbar berdasarkan firman-Nya Subhanahu
Wa Ta'ala:
Dialah yang menjadikan bumi sebagai
hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari
langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki
untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan andad (tandingan-tandingan) bagi
Allah, padahal kamu mengetahui. (QS. Al-Baqarah: 22)
Dan di antara manusia ada orang-orang yang
menjadikan andad (tandingan-tandingan) selain Allah; mereka mencintainya
sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat
cintanya kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim
(syirik) itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa
kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya
(niscaya mereka menyesal). (QS. Al-Baqarah: 165)
Dalam sebuah hadits shahih diriwayatkan:
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ’anhu bertanya
kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wahai Rasulullah, dosa apakah yang
paling besar?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Engkau
menjadikan nidd (tandingan) bagi Allah padahal Dialah yang telah menciptakanmu.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
13. Mengaku mengetahui
perkara yang ghaib
Yang dimaksud perkara ghaib, yaitu perkara
yang tidak dapat dijangkau oleh panca indera. Termasuk perkara ghaib adalah apa
yang akan terjadi. Sesungguhnya yang mengetahui perkara ghaib hanyalah Allah.
Dia Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
Katakanlah: "Tidak ada seorangpun di
langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah." Dan
mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan. (QS. An-Naml: 65)
Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua
yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia
mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang
gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam
kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan
tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)." (QS. Al-An'am: 59)
Tiada suatu bencanapun yang menimpa di
bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab
(Lauh Mahfudz) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu
adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan
berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu
gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai
setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri, (QS. Al-Hadid: 22–23)
Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya
sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan
mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui
(dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorangpun yang
dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Mengenal. (QS. Luqman: 34)
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ’anhu,
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
"Kunci perkara ghaib itu ada lima,
tidak ada seorangpun yang mengetahuinya melainkan Allah Ta’ala; (1) Tidak ada
seorangpun yang mengetahui apa yang akan terjadi esok selain Allah Ta’ala, (2)
tidak ada seorangpun mengetahui apa yang ada di dalam kandungan selain Allah
Ta’ala, (3) tidak ada seorangpun yang mengetahui kapan terjadinya hari Kiamat
selain Allah Ta’ala, (4) tidak ada seorangpun yang mengetahui di bumi mana dia
akan mati selain Allah Ta’ala, dan (5) tidak ada seorangpun yang mengetahui
kapan hujan akan turun selain Allah Ta’ala." (HR. Bukhari dan Ahmad)
Kemudian Allah memberitahukan sebagian
perkara ghaib lewat wahyu-Nya kepada rasul yang Dia kehendaki. Dia Subhanahu
Wa Ta'ala berfirman:
(Dia adalah Rabb) Yang Mengetahui yang
ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu.
Kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan
penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya. (QS. Al-Jin: 26-27)
Syaikh Shalih Al Fauzan hafidzahullah
menyatakan: “Maka barangsiapa mengaku-ngaku mengetahui perkara ghaib atau
membenarkan orang yang mengaku-ngaku hal itu, maka dia musyrik, kafir. Karena
dia mengaku-ngaku menyamai Allah dalam perkara yang termasuk
kekhususan-kekhususan-Nya.”
Pengetahuan tentang perkara yang ghaib
merupakan salah satu hak istimewa Allah. Menisbatkan hal tersebut kepada
selain-Nya adalah syirik akbar. Contoh yang biasanya mengaku mengetahui perkara
yang ghaib adalah dukun dan tukang ramal/paranormal.
14. Menghalalkan yang
diharamkan Allah atau mengharamkan yang dihalalkan Allah
Allah memiliki hak-hak yang khusus. Di
antara hak khusus bagi Allah adalah hak tasyri’, yakni menetapkan syariat yang
wajib dijalani oleh makhluk-Nya. Di antara perkara tasyri’ adalah penetapan
halal dan haram. Tiada yang berhak menghalalkan dan mengharamkan selain Allah.
Tidak ada seorangpun yang boleh menghalalkan kecuali yang telah dihalalkan oleh
Allah dan tidak mengharamkan kecuali yang diharamkan oleh Allah. Dia Subhanahu
Wa Ta’ala berfirman:
Apakah mereka mempunyai syuraka
(sekutu-sekutu) selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka dien (peraturan/undang-undang) yang tidak
diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah)
tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim
(musyrik) itu akan memperoleh azab yang amat pedih. (QS. Asy-Syura: 21)
Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan
janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang melampaui batas. (QS. Al-Maidah: 87)
Katakanlah: "Terangkanlah kepadaku
tentang rezki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya
haram dan (sebagiannya) halal." Katakanlah: "Apakah Allah telah
memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap
Allah?" (QS. Yunus: 59)
Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa
yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta "ini halal dan ini
haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya
orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung.
(QS. An-Nahl: 116)
Dan barangsiapa yang taat kepada penetap
syariat selain Allah maka dia telah menjadikannya sebagai sekutu bagi Allah,
berarti dia telah terjatuh ke dalam kesyirikan. Bahkan dalam sebuah ayat,
seseorang disebut musyrik hanya karena turut serta menghalalkan bangkai,
sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
Dan janganlah kamu memakan
binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya.
Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya
syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan
jika kamu menuruti mereka (menghalalkan bangkai), sesungguhnya kamu tentulah
menjadi orang-orang yang musyrik. (QS. Al-An'am: 121)
Tentang ayat ini Al Hakim dan yang lainnya
meriwatkan dengan sanad yang shahih dari Ibnu ‘Abbas: Bahwa orang-orang
membantah kaum muslimin tentang sembelihan dan pengharaman bangkai, mereka
berkata: “Kalian makan apa yang kalian bunuh (sembelihan) dan tidak makan
dari apa yang Allah bunuh (yaitu bangkai)”, maka Allah berfirman: “Dan
jika kamu menuruti mereka (menghalalkan bangkai), sesungguhnya kamu tentulah
menjadi orang-orang yang musyrik.”
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman
dalam sebuah Hadits Qudsi:
"Semua yang telah Aku berikan pada
hamba itu halal (hukum asal), Aku ciptakan hamba-hamba-Ku ini dengan sikap yang
lurus, tetapi kemudian datanglah syaitan kepada mereka. Syaitan ini kemudian
membelokkan mereka dari agamanya, dan mengharamkan atas mereka sesuatu yang Aku
halalkan kepada mereka, serta mempengaruhi supaya mereka mau menyekutukan Aku
dengan sesuatu yang Aku tidak turunkan keterangan padanya." (HR. Muslim)
Jadi, menghalalkan apa yang diharamkan
Allah atau mengharamkan apa yang dihalalkan Allah adalah perbuatan syirik akbar
karena telah merampas hak khusus Allah dalam menetapkan halal dan haram.
15. Memecah-belah agama
Allah
Ketika seseorang terjebak dalam perilaku
memecah-belah agama hal tersebut disejajarkan dengan mempersekutukan sesuatu
dengan Allah dan keluar dari keikhlasan ibadah karena tidak memelihara semua
perintah Allah dan menjauhi semua larangan-Nya sebaik-baiknya.
Perbuatan itu dianggap sebagai mengganti
agama fitrah dengan agama sesat dan karena menjadikan agama fitrah menjadi
beberapa agama dan mazhab, sebagaimana telah dilakukan oleh orang-orang Yahudi,
Nasrani, Majusi, para penyembah berhala, dan para pemeluk agama yang salah.
Perpecahan mengakibatkan konsep Islam,
konsep yang datangnya dari Allah dan rasul-Nya, tidak dapat terlaksana secara
kaffah (paripurna) sesuai perintah-Nya dalam QS. Al-Baqarah: 208. Secara
rasional, konsep apapun di dunia ini baik yang haq maupun yang batil
menghendaki penganutnya untuk bersatu agar konsepnya berjalan dan tidak
mengalami kehancuran.
Karena mengaku sebagai bagian dari umat
Islam tetapi berbuat seperti apa yang diperbuat kaum musyrikin maka para
pemilik perilaku memecah-belah agama ini dimasukkan dalam golongan mereka.
Disejajarkan dengan para penyembah tuhan-tuhan selain Allah. Menyembah Allah
tetapi meminta kepada selain Allah atau sebaliknya meminta kepada Allah tetapi
menyembah selain Allah. Dengan demikian maka para pemecah-belah agama
Allah adalah para pelaku syirik akbar, hal ini sebagaimana firman-Nya Subhanahu
Wa Ta'ala:
...dan janganlah kamu termasuk orang-orang
yang musyrik, yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka
menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada
pada golongan mereka. (QS. Ar-Rum: 31-32)
Sesungguhnya (agama tauhid) ini, adalah
agama kamu semua, agama yang satu, dan Aku adalah Rabb-mu, maka bertakwalah
kepada-Ku. Kemudian mereka (pengikut-pengikut rasul itu) menjadikan agama
mereka terpecah-belah menjadi beberapa pecahan. Tiap-tiap golongan merasa
bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing). Maka biarkanlah
mereka dalam kesesatannya sampai suatu waktu. (QS. Al-Mu'minun: 52-54)
Jika memecah-belah agama
(mencerai-beraikan umat) adalah perbuatan syirik (mempersekutukan Allah), maka
lawannya, mendirikan
khilafah (mempersatukan umat) adalah perbuatan tauhid (mengesakan
Allah).
16. Tidak mau membayar
zakat
Jika dilihat secara syariah, zakat
merupakan kewajiban dan termasuk dalam rukun Islam yang kadarnya sama dengan
kadar syahadat, shalat, dan puasa Ramadhan. Allah Subhanahu Wa Ta'ala
berfirman:
Jika mereka (kaum musyrikin) bertaubat,
mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah
saudara-saudaramu seagama... (QS. At-Taubah: 11)
Orang-orang yang tidak mau membayar zakat
pada dasarnya mereka itu menuhankan harta benda. Padahal Allahlah yang
memberikan rizki kepada mereka. Karena itu, mereka yang tidak mau membayar
zakat digolongkan sebagai para pelaku syirik akbar berdasarkan firman Allah Subhanahu
Wa Ta'ala:
...Dan kecelakaan besarlah bagi
orang-orang yang mempersekutukan-Nya, (yaitu) orang-orang yang tidak menunaikan
zakat dan mereka kafir akan adanya (kehidupan) akhirat. (QS. Fushilat: 6-7)
Katakanlah: "Jika bapa-bapa,
anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang
kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal
yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan rasul-Nya dan
daripada berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan
keputusan-Nya." Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang
fasik. (QS. At-Taubah: 24)
17. Takut kepada selain
Allah
Maksudnya takut yang tersembunyi
(dalam hati manusia), yakni takut dari suatu kemampuan khusus yang diyakini
dimiliki oleh selain Allah, padahal kemampuan tersebut hanya dimiliki oleh
Allah. Takut yang tersembunyi bisa berupa takut kepada berhala atau patung,
thaghut,
mayat, hantu atau yang ghaib (tidak terlihat mata) dari bangsa jin atau manusia
(arwah gentayangan) bahwa mereka bisa membahayakan atau menimpakan sesuatu
yang dibenci, misalnya adanya keyakinan sebagian masyarakat bahwa sebagian dari
para wali yang telah meninggal dunia atau orang-orang yang ghaib itu bisa
melakukan dan mengatur suatu urusan serta mendatangkan mudharat (bahaya).
Karena keyakinan ini, mereka menjadi takut kepada para wali atau orang-orang
ghaib tersebut.
Takut termasuk tingkatan agama yang
tertinggi dan teragung. Barangsiapa yang memalingkannya kepada selain Allah
maka sungguh dia telah menyekutukan Allah dengan syirik akbar. Allah Subhanahu
Wa Ta'ala berfirman:
Akan Kami masukkan ke dalam hati
orang-orang kafir rasa takut, disebabkan mereka mempersekutukan Allah dengan
sesuatu yang Allah sendiri tidak menurunkan keterangan tentang itu. Tempat
kembali mereka ialah neraka; dan itulah seburuk-buruk tempat tinggal
orang-orang yang zalim (musyrik). (QS. Ali Imran: 151)
Sesungguhnya mereka itu tidak lain
hanyalah syaitan yang menakut-nakuti (kamu) dengan kawan-kawannya, karena itu
janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kamu benar-benar
orang yang beriman. (QS. Ali Imran: 175)
...Karena itu janganlah kamu takut kepada
manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku
dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan perkara menurut
apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (QS.
Al-Maidah: 44)
Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang
dikatakan kepada mereka: "Tahanlah tanganmu (dari berperang), dirikanlah
sembahyang dan tunaikanlah zakat!" Setelah diwajibkan kepada mereka
berperang, tiba-tiba sebahagian dari mereka (golongan munafik) takut kepada
manusia (musuh), seperti takutnya kepada Allah, bahkan lebih sangat dari itu
takutnya... (QS. An-Nisa: 77)
Bukankah Allah cukup untuk melindungi
hamba-hamba-Nya. Dan mereka mempertakuti kamu dengan (sembahan-sembahan) yang
selain Allah? Dan siapa yang disesatkan Allah maka tidak seorangpun pemberi
petunjuk baginya. (QS. Az-Zumar: 36)
Takut kepada selain Allah yang tidak
termasuk syirik:
-Takut karena sebab-sebab yang dapat
dirasakan atau dilihat oleh panca indera, seperti takut kepada pencuri atau
musuh. Takut seperti ini tidaklah termasuk syirik, dengan syarat tidak
mengantarkan seseorang untuk meninggalkan perintah Allah. enggelam dan lain-lain. Takut
seperti ini juga tidak termasuk bentuk syirik kepada Allah atau maksiat
kepada-Nya.
18. Berhukum/memutuskan
perkara dengan selain hukum Allah
Sebagaimana disebutkan dalam Al Quran
surat Al-Maidah ayat 50 (lihat no. 27 dan 34), hanya ada dua pilihan hukum di
dunia ini yaitu hukum Allah (Al Quran & As Sunnah) atau tandingannya
yang disebut dengan hukum jahiliyah
(hukum-hukum buatan manusia, misal: UUD 1945, hukum adat, KUHP,
dan lain-lain). Hukum jahiliyah yang menyelisihi hukum Allah disebut juga hukum
thaghut, misal: UUD 1945, KUHP, dan lain-lain. Orang yang berhukum kepada
thaghut sedang ia masih mengaku beriman, maka pengakuan seperti ini adalah
pengakuan dusta sebagaimana keadaan orang-orang munafik yang disebutkan dalam
firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala:
Apakah kamu tidak memperhatikan
orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan
kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim
kepada thaghut,
padahal mereka telah diperintah mengkufuri thaghut itu. Dan syaitan bermaksud
menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. Apabila
dikatakan kepada mereka: "Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang telah
Allah turunkan dan kepada hukum Rasul", niscaya kamu lihat orang-orang
munafik menghalangi dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu. (QS. An-Nisa:
60-61)
Pengertian "thaghut" dalam ayat
di atas adalah siapa saja (orang atau lembaga) yang memutuskan perkara dengan
selain hukum Allah. Allah telah menamakan orang-orang yang berhukum/memutuskan
perkara dengan selain syariah-Nya sebagai orang-orang yang kafir, zalim
(musyrik), dan fasik sebagaimana firman-Nya Subhanahu Wa Ta'ala:
...Barangsiapa yang tidak memutuskan
perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang
yang kafir. (QS. Al-Maidah: 44)
...Barangsiapa yang tidak memutuskan
perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang
yang zalim (musyrik). (QS. Al-Maidah: 45)
...Barangsiapa yang tidak memutuskan
perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang
yang fasik. (QS. Al-Maidah: 47)
Berdasarkan ayat-ayat di atas, maka
barangsiapa yang berhukum/memutuskan perkara dengan selain hukum Allah atau
yang disebut dengan hukum jahiliyah/thaghut (tandingan bagi hukum Allah),
menurut sebagian ulama, untuk mengkafirkannya tidak perlu disyaratkan adanya
sikap istihlal (membolehkan berhukum dengan selain hukum Allah) karena
vonis Allah pada ketiga ayat tersebut sudah sangat jelas dan tegas maknanya
(ayat-ayat muhkamat) sehingga tidak lagi memerlukan takwil apapun.
Siapa saja yang melakukannya (hakim, jaksa, penyidik, kepala negara, kepala
daerah, kepala suku, ketua adat, atau lainnya) maka ia telah berbuat syirik
akbar dan kafir, bagaimanapun ia melakukannya, baik disertai sikap istihlal
maupun tidak. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
Sesungguhnya orang-orang yang kafir
dan melakukan kezaliman, Allah sekali-kali tidak akan mengampuni (dosa)
mereka dan tidak (pula) akan menunjukkan jalan kepada mereka, kecuali jalan ke
neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Dan yang demikian itu
adalah mudah bagi Allah. (QS. An-Nisa: 168-169)
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang
mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya
telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain)
tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya maka
sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (QS. Al-Ahzab: 36)
...Apakah kamu beriman kepada sebahagian
Al Kitab dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang
yang berbuat demikian dari padamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia,
dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah
tidak lengah dari apa yang kamu perbuat. (QS. Al- Baqarah: 85)
...Barangsiapa yang kafir sesudah beriman
(tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari
kiamat termasuk orang-orang yang merugi. (QS. Al-Maidah: 5)
Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu
(Muhammad) dan kepada (rasul-rasul) yang sebelummu: "Jika kamu
mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalanmu dan tentulah kamu
termasuk orang-orang yang merugi. (QS. Az-Zumar: 65)
19. Membuat hukum yang
menandingi dan menyelisihi hukum Allah
Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah,
sebagaimana firman-Nya Subhanahu Wa Ta'ala:
Katakanlah: "Sesungguhnya aku berada
di atas hujjah yang nyata (Al Quran) dari Rabb-ku, sedang kamu mendustakannya.
Tidak ada padaku apa (azab) yang kamu minta supaya disegerakan kedatangannya. Menetapkan
hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia
Pemberi keputusan yang paling baik." (QS. Al-An'am: 57)
Kamu tidak mengibadati yang selain Allah
kecuali hanya (mengibadati) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu
membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun tentang nama-nama
itu. Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia telah memerintahkan
agar kamu tidak mengibadati selain Dia. Itulah dien (peraturan/hukum) yang lurus, tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui." (QS. Yusuf: 40)
...dan Dia tidak mengambil seorangpun
menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan hukum (keputusan)." (QS. Al-Kahfi: 26)
Seorang hamba Allah tidak patut menghukumi
sesuatu dengan selain hukum/syariat Allah, sebagaimana firman-Nya Subhanahu
Wa Ta'ala:
...Tiadalah patut Yusuf menghukum
saudaranya menurut dien (peraturan/undang-undang) raja,... (QS.
Yusuf: 76)
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang
mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya
telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain)
tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya maka
sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (QS. Al-Ahzab: 36)
Barangsiapa (penguasa: eksekutif, legislatif, raja, ketua
adat, dan lain-lain) yang membuat dan menetapkan hukum/undang-undang selain
syariat Allah untuk hamba-hamba-Nya dan mewajibkan mereka berhukum dengannya,
maka tidak diragukan lagi, penguasa tersebut telah berbuat syirik akbar
karena telah menjadikan dirinya sebagai rabb selain Allah dan sekutu bagi Allah
dalam menetapkan hukum/undang-undang, berdasarkan firman-Nya Subhanahu Wa
Ta'ala:
Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan
rahib-rahib mereka sebagai arbab (rabb-rabb) selain Allah, dan (juga mereka
menjadikan rabb kepada) Al Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh
beribadah kepada Ilah yang Esa; tidak ada ilah (yang berhak diibadati dengan
benar) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. (QS.
At-Taubah: 31)
Apakah mereka mempunyai syuraka
(sekutu-sekutu) yang mensyariatkan untuk mereka dien (peraturan/undang-undang) yang tidak
diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah)
tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim
(musyrik) itu akan memperoleh azab yang amat pedih. (QS. Asy-Syura: 21)
20. Mentaati hukum
penguasa yang menyelisihi hukum Allah
Allah telah menyebut orang-orang yang
membuat hukum/undang-undang selain syariat Allah sebagai arbab
(rabb-rabb) selain Allah dan sekutu bagi Allah (lihat no. 19). Allah juga
menyebut rakyat yang mentaati hukum/undang-undang buatan para penguasa yang menghalalkan dan/atau
mengharamkan sesuatu (tanpa izin Allah, menyelisihi hukum Allah) sebagai para
penyembah arbab tersebut, sebagaimana firman-Nya Subhanahu Wa Ta'ala:
Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan
rahib-rahib mereka sebagai arbab (rabb-rabb) selain Allah, dan (juga mereka
menjadikan rabb kepada) Al Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh
beribadah kepada Ilah yang Esa; tidak ada ilah (yang berhak diibadati dengan
benar) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. (QS.
At-Taubah: 31)
Sudah lama diketahui bahwa ibadah kaum
Yahudi dan Nasrani kepada para pendeta dan ahli ibadah mereka berbentuk
ketaatan kepada mereka dalam penghalalan yang haram dan pengharaman yang halal.
Hal ini telah diterangkan dalam Hadits Adi bin Hatim yang diriwayatkan oleh
Tirmidzi (3095), Ibnu Jarir (16631-16633), Baihaqi (X/116), Thabrani dalam Al
Kabir (XVII/92) dan lainnya. Dalam hadits tersebut disebutkan: ”Mereka
tidaklah menyembah mereka, namun jika para pendeta menghalalkan sesuatu yang
haram mereka ikut menghalalkannya, dan jika para pendeta mengharamkan sesuatu
yang halal mereka ikut mengharamkannya."
Pengarang Fathul Majid (hal. 79)
mengatakan tentang ayat tersebut: ”Dengan ini jelaslah bahwa ayat tersebut
menunjukkan siapa yang mentaati selain Allah dan rasul-Nya serta berpaling dari
mengambil Al Kitab dan As Sunnah dalam menghalalkan apa yang diharamkan Allah
atau mengharamkan apa yang dihalalkan Allah dan mentaatinya dalam bermaksiat
kepada Allah dan mengikutinya dalam hal yang tidak dizinkan Allah, maka ia
telah mengangkat orang tersebut sebagai rabb, ilah dan menjadikannya sebagai
sekutu Allah.”
Dalam tafsirnya II/172, Ibnu Katsir
berkata: ”Karena kalian berpaling dari perintah Allah dan syariat-Nya kepada
kalian, kepada perkataan selain Allah dan kalian mendahulukan undang-undang
selain-Nya atas syariat-Nya, maka ini adalah syirik. Sebagaimana firman Allah:
'Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai rabb-rabb
selain Allah.'”
Syaikh Asy-Syanqithi dalam tafsir Adhwaul
Bayan IV/91 saat menafsirkan ayat "Dia tidak mengambil seorangpun
menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan hukum" (QS. Al-Kahfi: 26), mengatakan
bahwa orang-orang yang mengikuti hukum-hukum para pembuat undang-undang selain
apa yang disyariatkan Allah, mereka itu musyrik kepada Allah. Pemahaman ini
diterangkan oleh ayat-ayat yang lain seperti firman Allah berikut tentang orang
yang mengikuti tasyri’ (aturan-aturan) setan yang menghalalkan bangkai dengan
alasan sebagai sembelihan Allah:
Dan janganlah kamu memakan
binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya.
Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya
syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan
jika kamu menuruti mereka (menghalalkan bangkai), sesungguhnya kamu tentulah
menjadi orang-orang yang musyrik. (QS. Al-An'am: 121)
Allah menegaskan mereka itu musyrik karena
mentaati para pembuat keputusan yang menyelisihi hukum Allah. Kesyirikan dalam
masalah ketaatan dan mengikuti tasyri’ (peraturan-peraturan) yang menyelisihi
syariat Allah inilah yang dimaksud dengan beribadah kepada setan dalam ayat
“Bukankah Aku telah memerintahkan kepada kalian wahai Bani Adam supaya kalian
tidak menyembah (beribadah kepada) setan? Sesungguhnya setan itu musuh yang
nyata bagi kalian. Dan beribadahlah kepada-Ku. Inilah jalan yang lurus.” (QS.
Yasin: 60-61).
Berdasarkan uraian di atas, maka jelaslah
bahwa mentaati hukum penguasa yang menyelisihi hukum Allah adalah
perbuatan syirik akbar. Sebagai contoh, mentaati dan mendukung hukum penguasa
yang melarang pemakaian jilbab bagi kaum wanita, mentaati dan mendukung hukum
penguasa yang membolehkan orang kafir menjadi pemimpin atas kaum muslimin, dan
lain-lain.
21. Memilih/mengangkat
pemerintah atau wakil-wakil rakyat melalui pemilu dalam sistem demokrasi
Sebagaimana diketahui bahwa dalam sistem demokrasi, salah satu tugas pemerintah dan
wakil-wakil rakyat (DPR/parlemen) adalah membuat hukum/undang-undang yang bukan
berdasarkan hukum Allah. Ini berarti pemerintah dan wakil-wakil rakyat telah
merampas hak khusus Allah yaitu menetapkan hukum (lihat no. 19), dengan kata
lain mereka adalah arbab (rabb-rabb) selain Allah yang memberlakukan
hukum/undang-undang buatan mereka kepada manusia. Nah, dengan demikian maka
memilih/mengangkat pemerintah atau wakil-wakil rakyat melalui pemilu dalam
sistem demokrasi pada hakekatnya sama saja dengan memilih/mengangkat arbab
(rabb-rabb) selain Allah. Hal ini berdasarkan firman-Nya Subhanahu Wa
Ta’ala:
Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan
rahib-rahib mereka sebagai arbab (rabb-rabb) selain Allah, dan (juga mereka
menjadikan rabb kepada) Al Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh
beribadah kepada Ilah yang Esa; tidak ada ilah (yang berhak diibadati dengan
benar) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. (QS.
At-Taubah: 31)
Dialah yang menjadikan bumi sebagai
hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari
langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki
untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan andad (tandingan-tandingan) bagi
Allah, padahal kamu mengetahui. (QS. Al-Baqarah: 22)
Apakah mereka mempunyai syuraka
(sekutu-sekutu) yang mensyariatkan untuk mereka dien (peraturan/undang-undang) yang tidak
diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah)
tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim
(musyrik) itu akan memperoleh azab yang amat pedih. (QS. Asy-Syura: 21)
...Menetapkan hukum itu hanyalah hak
Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling
baik." (QS. Al-An'am: 57)
...Menetapkan hukum itu hanyalah hak
Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak mengibadati selain Dia. Itulah dien (peraturan/hukum) yang lurus, tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui." (QS. Yusuf: 40)
...dan Dia tidak mengambil seorangpun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan
hukum (keputusan)." (QS. Al-Kahfi: 26)
Jika memilih/mengangkat pemerintah atau
wakil-wakil rakyat tersebut disertai dengan harapan bahwa mereka dapat membuat
hukum/undang-undang yang lebih baik bagi rakyat atau dapat menjalankan
hukum/undang-undang yang sudah ada dengan baik, tanpa peduli apakah hukum-hukum
tersebut menyelisihi hukum Allah atau tidak, maka perbuatan ini termasuk
perbuatan syirik akbar berdasarkan keterangan ayat-ayat tersebut khususnya QS.
At-Taubah: 31 dan QS. Yusuf: 40.
22. Meyakini atau
menyebarkan ajaran yang menyelisihi ayat-ayat Allah
Ada pemikiran/ajaran yang menyatakan bahwa
aspek-aspek Islam seperti soal jilbab, potong tangan, qishash, rajam, jenggot,
dan jubah merupakan cerminan kebudayaan Arab sehingga tidak wajib diikuti,
karena itu hanyalah ekspresi lokal particular Islam di Arab saja. Demikian
antara lain yang disampaikan oleh Koordinator Jaringan Islam Liberal (JIL)
melalui sebuah artikel karyanya yang berjudul: "Menyegarkan Kembali
Pemahaman Islam" (Kompas, 18 September 2002).
Sebagaimana diketahui bahwa jilbab, potong
tangan, qishash, rajam, dan jenggot merupakan perkara-perkara yang
diperintahkan Allah dan rasul-Nya untuk ditegakkan. Pemikiran/ajaran
Koordinator JIL tersebut bertentangan dengan firman Allah Subhanahu Wa
Ta'ala:
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang
mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya
telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain)
tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya maka
sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (QS. Al-Ahzab: 36)
Dalam hal ini, Koordinator JIL telah
memposisikan dirinya sebagai rabb selain Allah dan orang-orang yang mengikuti
pemikiran/ajarannya disebut sebagai orang-orang yang mengikuti rabb selain
Allah, sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya Subhanahu Wa Ta'ala:
Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan
rahib-rahib mereka sebagai arbab (rabb-rabb) selain Allah, dan (juga mereka
menjadikan rabb kepada) Al Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh
beribadah kepada Ilah yang Esa; tidak ada ilah (yang berhak diibadati dengan
benar) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. (QS.
At-Taubah: 31)
...Menetapkan hukum itu hanyalah hak
Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak mengibadati selain Dia. Itulah dien (peraturan/hukum) yang lurus, tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui." (QS. Yusuf: 40)
...dan Dia tidak mengambil seorangpun
menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan hukum (keputusan)." (QS. Al-Kahfi: 26)
Dengan demikian maka meyakini atau
menyebarkan ajaran yang menyelisihi ayat-ayat Allah termasuk perbuatan syirik
akbar. Demikian pula dengan keyakinan para penganut Ahmadiyah yang menyatakan
bahwa kitab Tadzkirah berisi wahyu-wahyu dan kasyaf-kasyaf yang diterima Mirza
Ghulam Ahmad (MGA) dari Allah, maka keyakinan ini termasuk perbuatan syirik
akbar, hal ini antara lain karena salah satu ayat dalam kitab Tadzkirah
(halaman 436) menyatakan:
"Kamu (MGA) di sisi-Ku (Allah)
memiliki kedudukan seperti anak-anak-Ku."
Ayat yang diklaim MGA sebagai wahyu dari
Allah tersebut palsu karena mensifati Allah seperti makhluk-Nya yaitu mempunyai
anak (sekalipun dalam arti kiasan) dan hal ini bertentangan dengan ayat-ayat
Allah dalam Al Quran (lihat no. 3 dan 4 di atas, mengaku sebagai anak Allah,
mengatakan atau menetapkan bahwa Allah mempunyai anak adalah perbuatan syirik
akbar).
23. Percaya adanya
kekuatan tertentu yang dapat menahan kehendak Allah
Kehendak Allah itu pasti terlaksana, tidak
ada sesuatupun yang dapat menahannya, juga kekuasaan-Nya sempurna meliputi
segala sesuatu. Apa yang Allah kehendaki pasti akan terjadi, meskipun manusia
berupaya untuk menghindarinya, dan apa yang tidak dikehendaki-Nya, maka tidak
akan terjadi, meskipun seluruh makhluk berupaya untuk mewujudkannya. Hal ini
berdasarkan firman-Nya Subhanahu Wa Ta'ala:
Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua
yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia
mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang
gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun
dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan
tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)." (QS. Al-An'am: 59)
Tiada suatu bencanapun yang menimpa di
bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab
(Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu
adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan
berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu
gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai
setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri, (QS. Al-Hadiid: 22–23)
Apa saja yang Allah anugerahkan kepada
manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorangpun yang dapat menahannya; dan apa
saja yang ditahan oleh Allah maka tidak seorangpun yang sanggup melepaskannya
sesudah itu. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Fathir: 2)
Sebagian ulama seperti penulis tafsir Al
Jalalain mengatakan bahwa "rahmat" yang dimaksud pada ayat tersebut
adalah rizki dan hujan (lihat Tafsir Al Jalalain, Jalaluddin Muhammad
bin Ahmad Al Muhalla dan Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakr As Suyuthi, hal.
434, Maktabah Ash Shofaa, cetakan pertama, tahun 1425 H).
Oleh karena itu, jika ada yang mengaku
dapat menahan kehendak Allah dengan kekuatan tertentu, umpamanya seorang pawang
hujan, dia mengaku dapat memindahkan atau mencegah/menahan turunnya hujan
dengan ritual tertentu atau dengan menaruh benda-benda tertentu pada tempat
tertentu, maka dia telah terjerumus ke dalam perbuatan syirik akbar, termasuk
orang-orang yang mempercayai pengakuan tersebut. Allah Subhanahu Wa Ta'ala
berfirman:
Dan sungguh jika kamu bertanya kepada
mereka: "Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?" Niscaya mereka
menjawab: "Allah." Katakanlah: "Maka terangkanlah kepadaku
tentang apa yang kamu seru selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan
kemudharatan kepadaku, apakah berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan
kemudharatan itu, atau jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka
dapat menahan rahmat-Nya?" Katakanlah: "Cukuplah Allah bagiku."
Kepada-Nyalah bertawakkal orang-orang yang berserah diri. (QS. Az-Zumar: 38)
24. Menjadi tukang sihir
Sihir adalah ungkapan tentang
ikatan-ikatan buhul, jampi-jampi (mantra), dan hembusan-hembusan tukang sihir
yang bisa menimbulkan suatu bahaya bagi orang yang disihirnya, diantaranya bisa
menghilangkan nyawa, menyakiti, menghilangkan akal, ada yang menyebabkan muncul
ikatan yang sangat kuat (seperti pelet, gendam, dan lain-lain) dan ada yang
menyebabkan berpalingnya seseorang dari orang yang lain (lihat syarah Riyadhus
Shalihin oleh Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al 'Utsaimin hal. 264 cet.
Darul Atsar).
Mengerjakan sihir adalah perbuatan
kekafiran (kufur akbar), berdasarkan firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala:
Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh
syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa
Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak
mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan lah yang kafir (mengerjakan sihir).
Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua
orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak
mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan: "Sesungguhnya
kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir". Maka mereka
mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat
menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya. Dan mereka itu (ahli
sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorangpun, kecuali dengan
izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang tidak memberi mudharat
kepadanya dan tidak memberi manfaat. Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini
bahwa barangsiapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah
baginya keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual
dirinya dengan sihir, kalau mereka mengetahui. (QS. Al-Baqarah: 102)
dan (aku berlindung kepada Allah) dari
kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembuskan (nafas) pada
buhul-buhul, (QS. Al-Falaq: 4)
Maksudnya wanita-wanita tukang sihir yang
mengikat benda-benda sihirnya (jimat, tumbal, boneka voodoo, dan lain-lain) dan
meniup pada buhul-buhulnya pada saat membaca mantra (lihat Tafsir Al
Qurthubi XX/257). Seandainya sihir itu tidak memiliki hakekat tentu
Allah tidak menyuruh kita untuk berlindung kepada-Nya dari pengaruh sihir itu.
Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun pernah
tersihir. Diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ’anha, bahwa Nabi pernah
terkena sihir, sehingga sihir itu membuatnya seakan-akan melakukan sesuatu
padahal beliau tidak melakukannya. Kemudian beliau berkata kepada Aisyah pada
suatu hari: ”Aku kedatangan dua malaikat, salah satunya duduk di dekat kepalaku
dan satunya lagi duduk di dekat kakiku, lalu malaikat itu berkata: "Sakit
apa orang ini?" Malaikat yang satunya berkata: “Dia tersihir.” Malaikat
itu berkata: "Siapa yang menyihirnya?" Malaikat yang satunya
menjawab: ”Labid bin Al A’sham dengan sisir dan rambut dibungkus dengan pelepah
kurma lalu dimasukkan ke sumur dzarwan.” (HR. Bukhari).
Mengerjakan sihir adalah perbuatan syirik,
berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Abu
Hurairah radhiyallahu ’anhu:
“Barangsiapa membuat suatu ikatan
(bundelan), kemudian meniupnya, maka dia telah melakukan sihir. Dan barangsiapa
yang melakukan sihir, maka dia telah berbuat syirik. Barangsiapa yang
menggantungkan sesuatu (jimat) pada dirinya, maka dirinya akan dijadikan
bersandar kepadanya.” (HR. Nasa’i)
Oleh karena mengerjakan sihir adalah
perbuatan kufur akbar, maka syirik yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah
syirik akbar. Hal ini diperkuat dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam dari Jundub radhiyallahu ’anhu tentang hukuman bagi
tukang sihir:
"Hukuman bagi tukang sihir adalah
dipenggal dengan pedang." (HR. Tirmidzi dan Daruquthni)
25. Percaya pada
pantangan, mitos dan khurafat/takhayul
Banyak orang yang takut tidak selamat
mengenakan baju hijau saat berkunjung ke pantai selatan, karena dianggap
pantangan yang tidak disukai oleh Nyi Roro Kidul. Di sisi lain masyarakat juga
masih takut tidak selamat bila melakukan pesta pernikahan di bulan Suro
(Muharram). Mereka menganggap bulan Suro sebagai bulan yang keramat. Padahal
keselamatan manusia itu tidak terletak pada tradisi atau keyakinan seperti itu,
tapi berada di tangan Allah yang akan diberikan kepada orang yang taat
menjalankan kitab-Nya, sebagaimana firman-Nya Subhanahu Wa Ta'ala:
Dengan kitab itulah Allah menunjuki
orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan
kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap-gulita kepada
cahaya yang terang-benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan
yang lurus. (QS. Al-Maidah: 16)
Percaya pada pantangan yang disertai
keyakinan adanya sesuatu selain Allah yang akan mendatangkan mudharat (bahaya)
jika pantangan tersebut dilanggar, maka kepercayaan ini termasuk syirik
akbar, hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala:
Dan mereka mengibadati selain daripada
Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak
(pula) kemanfaatan, dan mereka berkata: "Mereka itu adalah pemberi
syafa'at kepada kami di sisi Allah." Katakanlah: "Apakah kamu
mengabarkan kepada Allah apa yang tidak diketahui-Nya baik di langit dan tidak
(pula) di bumi?" Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka
persekutukan. (QS. Yunus: 18)
Dan apabila dikatakan kepada mereka:
"Apakah yang telah diturunkan Rabb-mu?" Mereka menjawab:
"Dongengan-dongengan orang-orang dahulu," (QS. An-Nahl: 24)
Adapun mitos adalah cerita-cerita bohong
tentang suatu hal seperti asal-usul tempat, alam, manusia dan sebagainya yang
mengandung arti mendalam dan diungkapkan dengan cara gaib. Sedangkan definisi
khurafat adalah ajaran atau keyakinan yang tidak mempunyai landasan kebenaran,
disebut pula takhayul. Hukum percaya kepada mitos dan khurafat adalah syirik.
Adapun klasifikasi syirik akbar atau syirik asghar** tergantung pada jenis
khurafat dan mitos serta pengamalan dari kepercayaan tersebut. Salah satu
contoh mitos dan khurafat yang dikategorikan syirik akbar seperti keyakinan
akan keberadaan Nyi Rodo Kidul sebagai penguasa pantai selatan, bahkan sampai
melakukan ritual nadranan (ruwatan) meminta manfaat dan tolak bala kepada Nyi
Roro Kidul. Khurafat dan mitos ini adalah syirik akbar yang mengeluarkan
pelakunya dari Islam. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
Dan sungguh jika kamu bertanya kepada
mereka: "Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?" Niscaya mereka
menjawab: "Allah." Katakanlah: "Maka terangkanlah kepadaku
tentang apa yang kamu seru selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan
kemudharatan kepadaku, apakah berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan
kemudharatan itu, atau jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka
dapat menahan rahmat-Nya?" Katakanlah: "Cukuplah Allah bagiku."
Kepada-Nyalah bertawakkal orang-orang yang berserah diri. (QS. Az-Zumar: 38)
26. Percaya pada dukun
dan tukang ramal/paranormal
Dalam fiqih Islam setidaknya ada dua
istilah terkait dengan masalah ini:
-'Arraf (dukun): yaitu orang yang
mengaku mengetahui sesuatu yang tersembunyi dari perkara-perkara yang telah
terjadi, seperti mengaku mengetahui peristiwa pencurian, atau barang-barang
yang telah hilang.
-Kahin (tukang ramal/paranormal):
yaitu orang yang mengaku mengetahui berbagai peristiwa yang akan terjadi di
masa mendatang. Biasanya mereka bekerja sama dengan jin-jin fasik (setan), atau
bersandar kepada bintang-bintang atau kepada sebab-sebab dan
pendahuluan-pendahuluan (mukadimah) yang mereka buat sendiri.
Ada yang mengatakan 'arraf itu tukang
ramal, sedangkan kahin itu dukun. Bahkan ada juga yang mengatakan 'arraf dan
kahin itu sama saja, karena keduanya sama-sama mengaku mengetahui perkara yang
ghaib (lihat no. 13).
Mendatangi dukun atau tukang
ramal/paranormal amat berbahaya. Yang termasuk dalam hukum ini adalah membaca
ramalan bintang. Membaca ramalan seperti itu tidak perlu lagi mendatangi dukun
atau tukang ramal, namun cukup membaca majalah ramalan bintang atau menonton
tayangan ramalan nasib di televisi.
Mendatangi dengan membenarkan dukun atau
tukang ramal dalam segala hal dengan keyakinan bahwa dukun atau tukang ramal
itu mengetahuinya dengan sendirinya, maka hal ini dihukumi musyrik dan kafir
(keluar dari Islam), karena mengetahui hal ghaib secara khusus hanya Allah yang
tahu, sebagaimana firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
Katakanlah: "Tidak ada seorangpun di
langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah." Dan
mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan. (QS. An-Naml: 65)
Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua
yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia
mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang
gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun
dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan
tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)." (QS. Al-An'am: 59)
Adapun mendatangi dukun atau tukang ramal
dengan keyakinan bahwa dukun atau tukang ramal tersebut mendapatkan ramalan
dari jin/setan sehingga dia mengetahui ada barang yang hilang atau terjatuh,
atau mengetahui perkara-perkara yang akan terjadi, maka seperti ini ada dua
hukuman:
-Tidak diterima shalatnya selama empat
puluh malam, sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut:
Dari Shafiyah radhiyallahu ’anha dari
beberapa istri Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa yang mendatangi
'arraf (dukun), lalu menanyakan kepadanya tentang sesuatu perkara maka
shalatnya tidak akan diterima selama empat puluh malam." (HR. Muslim dan
Ahmad)
Imam Nawawi berkata: “Adapun maksud tidak
diterima shalatnya adalah orang tersebut tidak mendapatkan pahala. Namun shalat
yang ia lakukan tetap dianggap dapat menggugurkan kewajiban shalatnya dan ia
tidak butuh untuk mengulangi shalatnya.”
-Kufur terhadap apa yang telah diturunkan
kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang dimaksud adalah kufur
asghar, sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut:
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa yang
mendatangi 'arraf (dukun) atau kahin (tukang ramal) kemudian membenarkan
perkataannya, maka ia telah kafir terhadap apa yang telah diturunkan kepada
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam." (HR. Nasa'i, Tirmidzi, Abu Dawud
dan Ibnu Majah)
Kadangkala ramalan tersebut secara
kebetulan tepat. Sungguhpun demikian, ramalan dukun atau tukang
ramal/paranormal tidak boleh dipercayai karena jin/setan sendiri tidak
mengetahui perkara-perkara ghaib, sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa
Ta’ala:
...Maka tatkala ia telah tersungkur,
tahulah jin itu bahwa kalau sekiranya mereka mengetahui yang ghaib tentulah
mereka tidak akan tetap dalam siksa yang menghinakan. (QS. Saba: 14)
27. Menghalalkan/ridha
dengan sistem demokrasi
Demokrasi diambil dari bahasa Latin, demos
yang berarti rakyat dan kratos yang berarti hukum atau kekuasaan. Jadi,
demokrasi adalah hukum dan kekuasaan rakyat, dan dibahasakan dalam Undang
Undang Dasar RI dengan “Kedaulatan berada di tangan rakyat”.
Kezaliman dan kejahatan paling besar dari
demokrasi adalah memberikan kekuasaan tertinggi membuat undang-undang kepada
selain Allah yaitu kepada rakyat yang diwakili oleh wakil-wakil mereka di
parlemen (MPR/DPR), sedangkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
Apakah hukum jahiliyah yang mereka
kehendaki? Dan siapakah yang lebih baik hukumnya daripada Allah bagi
orang-orang yang yakin? (QS. Al-Maidah: 50)
...Barangsiapa yang tidak memutuskan
perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang
yang zalim. (QS. Al-Maidah: 45)
Dalam Islam, yang berhak untuk membuat
hukum/undang-undang, membuat syariat, dan membuat tatanan untuk kehidupan umat
manusia adalah Allah, sebagaimana firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
...Menetapkan hukum itu hanyalah hak
Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang
paling baik." (QS. Al-An'am: 57)
...Menetapkan hukum itu hanyalah hak
Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak mengibadati selain Dia.
Itulah dien (peraturan/hukum) yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui." (QS. Yusuf: 40)
...Menetapkan hukum itu hanyalah hak
Allah; kepada-Nya-lah aku bertawakkal dan hendaklah kepada-Nya saja
orang-orang yang bertawakkal berserah diri." (QS. Yusuf: 67)
...dan Dia tidak mengambil seorangpun
menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan hukum (keputusan)." (QS. Al-Kahfi: 26)
...Barangsiapa yang tidak memutuskan perkara
menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang
kafir. (QS. Al-Maidah: 44)
Hai orang-orang yang beriman, ...apabila
kamu berlainan pendapat tentang sesuat (apapun), maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al Quran) dan Rasul (As Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian... (QS. An-Nisa: 59)
Dari keterangan ayat-ayat di atas, jelas
sekali bahwa demokrasi adalah syirik akbar karena merampas hak khusus Allah
dalam membuat hukum/undang-undang (lihat no. 18-21).
Oleh karena itu, barangsiapa yang
menghalalkan/ridha dengan sistem demokrasi, baik ia terlibat atau tidak
dalam kegiatan dan syiar-syiarnya, tetapi ia ridha dengan sistem demokrasi,
maka ia termasuk orang yang ridha dengan syirik akbar. Orang yang ridha dengan
syirik akbar, maka ia terlibat dalam kesyirikan. Dan itu berarti “yakhruju
minal Islam”, keluar dari Islam.
28. Mengabdi demi
nasionalisme dan negara
Nasionalisme (kebangsaan) adalah sebuah
faham yang membentuk loyalitas berdasarkan kesatuan tanah air, budaya dan suku.
Pengertian ini diperjelas kembali oleh Dr. Ali Nafi’ di dalam bukunya
“Ahammiyatul Jihad” hal. 411, beliau menulis: “Nasionalisme merupakan bentuk
pengkultusan kepada suatu bangsa (tanah air) yang diaplikasikan dengan
memberikan kecintaan dan kebencian kepada seseorang berdasarkan pengkultusan
tersebut, ia berperang dan mengorbankan hartanya demi membela tanah air belaka
(walaupun dalam posisi salah), yang secara otomatis akan menyebabkan lemahnya
loyalitas kepada agama yang dianutnya, bahkan loyalitas tersebut bisa hilang
sama sekali.”
Berkhidmat (mengabdi) untuk menegakkan
nasionalisme dan menjadikannya sebagai tujuan utama dalam perjuangan hidup,
seperti berperang karena untuk mempertahankan bangsa (nation), berpropaganda
agar orang mendukung ide dan cita-cita nasionalisme, berjuang dan bekerja demi
kebangsaan, serta menanamkan semangat fanatisme kebangsaan yang mendalam, maka
penumpuan dan konsep hidup semacam itu adalah pandangan atau konsep hidup
syirik, hal ini karena Allah telah menyuruh bekerja, berkhidmat, berjihad, dan
berperang hanya karena Allah semata. Kaum muslimin dibenarkan berusaha
memperbaiki bangsanya atas dasar apa yang diperintahkan oleh Allah. Maka
apabila bangsanya itu kafir, umpamanya kafir karena berhukum dengan hukum
buatan manusia seperti UUD dan UU turunannya (lihat no. 18-21 dan 27), saat itu
pula kaum muslimin tidak boleh berkhidmat lagi, bahkan kalau ia berkhidmat pada
bangsa kafir dianggap sebagai penghianatan terhadap diri dan Islam. Hal ini
sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan hadits
berikut:
Katakanlah: "Sesungguhnya shalatku,
sembelihanku, hidupku dan matiku hanyalah karena Allah, Rabb semesta
alam." (QS. Al-An'am: 162)
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia
melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (QS. Adz-Dzariyat: 56)
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhu bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Tali iman yang paling
kuat adalah berkasih sayang karena Allah dan memusuhi karena Allah, mencintai
karena Allah dan membenci karena Allah." (HR. Thabrani dan Baghawi)
Fenomena nasionalisme ini dalam hadits
dikenal dengan istilah 'ashabiyah, yaitu fanatisme kelompok,
kekerabatan, kedaerahan, atau kebangsaan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam secara tegas mengharamkan ikatan 'ashabiyah, sebagaimana disebutkan
dalam hadits-hadits berikut:
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa keluar
dari ketaatan dan tidak mau bergabung dengan Jama'ah kemudian ia mati, maka matinya seperti
mati jahiliyah. Dan barangsiapa yang berperang di bawah panji 'ashabiyah, marah
karena 'ashabiyah, menyeru kepada 'ashabiyah dan membela 'ashabiyah kemudian
terbunuh, maka matinya seperti mati jahiliyah. Dan barangsiapa keluar dari
ummatku, kemudian menyerang orang-orang yang baik maupun yang fajir tanpa
memperdulikan orang mukmin, dan tidak pernah mengindahkan janji yang telah
dibuatnya, maka ia tidak termasuk dari golonganku dan saya tidak termasuk dari
golongannya." (HR. Muslim)
Dari Jubair bin Muth'im radhiyallahu ’anhu
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Bukan termasuk umatku
orang yang menyeru kepada ‘ashabiyah, bukan termasuk umatku orang yang
berperang atas dasar ‘ashabiyah, dan bukan termasuk umatku orang yang mati atas
dasar ‘ashabiyah.” (HR. Abu Dawud)
Syaikh Muhammad Said Al-Qahthani dalam
tesisnya yang berjudul "Al Wala’ wal Bara’" hal. 42, mengatakan:
“Nasionalisme merupakan salah satu bentuk kesyirikan, karena dia akan menuntut
seseorang untuk berjuang membelanya, dan membenci setiap kelompok yang menjadi
musuhnya, tanpa melihat muslim atau tidak, dengan demikian secara tidak
langsung ia telah menjadikannya sebagai tandingan Allah.”
Bekerja semata-mata untuk kemajuan negara
juga termasuk dalam kategori syirik, kaum muslimin tidak boleh meletakkan
gantungannya kepada negaranya, kecuali tujuan negara dan orang-orang yang
memerintahnya semua bertujuan menegakkan syariat Islam dan karena Allah semata.
Apabila kita bekerja untuk kebaikan negara dan penduduknya yang bersyariat
Islam maka pekerjaan kita itu sesuai dengan perintah Allah, tetapi apabila kita
meletakkan kenegaraan sebagai tujuan perjuangan di dalam pekerjaan kita dan
tidak mau meniatkan karena Allah (hal ini banyak terjadi di negara yang
berhukum dengan hukum buatan manusia seperti UUD dan UU turunannya), maka
pada dasarnya orang yang melakukannya itu sudah termasuk dalam kategori syirik
karena ia telah menjadikan negara sebagai tandingan Allah. Allah telah
memandang hina terhadap orang-orang atau bangsa-bangsa yang menggantungkan
keyakinannya kepada negara. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan
kepada mereka: "Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampungmu."
Niscaya mereka tidak akan melakukannya kecuali sebagian kecil dari mereka. Dan
sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka,
tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan
(iman mereka), (QS. An-Nisa: 66)
29. Melakukan ritual
sesajen/persembahan korban untuk selain Allah (tradisi pesta sedekah bumi/laut,
tradisi tumbal, dan lain-lain)
Berkorban dengan tujuan untuk mendekatkan
diri kepada Allah adalah suatu bentuk ibadah yang agung, sebagaimana firman-Nya
Subhanahu Wa Ta’ala:
Katakanlah: "Sesungguhnya shalatku,
sembelihanku, hidupku dan matiku hanyalah karena Allah, Rabb semesta alam. (QS.
Al-An'am: 162)
Maka dirikanlah shalat karena Rabb-mu dan
berkorbanlah. (QS. Al-Kautsar: 2)
Kedua ayat di atas menunjukkan agungnya
keutamaan ibadah shalat dan berkorban, karena melakukan dua ibadah ini
merupakan bukti kecintaan kepada Allah dan pemurnian agama bagi-Nya
semata-mata, serta pendekatan diri kepada-Nya dengan hati, lisan dan anggota
badan, juga dengan menyembelih hewan qurban yang merupakan pengorbanan harta
yang dicintai jiwa kepada Dzat yang lebih dicintainya, yaitu Allah Subhanahu
Wa Ta’ala.
Oleh karena itu, mempersembahkan ibadah
ini kepada selain Allah (baik itu jin, dewa/dewi, manusia ataupun lainnya)
dengan tujuan untuk mengagungkan dan mendekatkan diri kepadanya, yang dikenal
dengan istilah ritual sesajen sebagaimana yang dilakukan oleh kebanyakan orang
dalam ritual sedekah bumi/laut, tradisi tumbal, dan semacamnya adalah perbuatan
syirik akbar, berdasarkan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan hadits-hadits
berikut:
Dan mereka memperuntukkan bagi Allah satu
bagian dari tanaman dan ternak yang telah diciptakan Allah, lalu mereka berkata
sesuai dengan persangkaan mereka: "Ini untuk Allah dan ini untuk
berhala-berhala kami." Maka saji-sajian yang diperuntukkan bagi
berhala-berhala mereka tidak sampai kepada Allah; dan saji-sajian yang
diperuntukkan bagi Allah, maka sajian itu sampai kepada berhala-berhala mereka.
Amat buruklah ketetapan mereka itu. (QS. Al-An'am: 136)
Dan mereka sediakan untuk berhala-berhala
yang mereka tiada mengetahui (kekuasaannya), satu bahagian dari rezki yang
telah Kami berikan kepada mereka. Demi Allah, sesungguhnya kamu akan ditanyai
tentang apa yang telah kamu ada-adakan. (QS. An-Nahl: 56)
...dan (diharamkan bagimu) yang disembelih
untuk berhala.... (QS. Al-Maidah: 3)
Dari ‘Ali radhiyallahu ’anhu bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepadaku dengan empat
nasihat: “Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah. Allah
melaknat anak yang melaknat kedua orang tuanya. Allah melaknat orang yang
melindungi muhdits (orang yang jahat)/muhdats (pelaku bid’ah). Allah melaknat
orang yang sengaja mengubah patok batas tanah." (HR. Muslim)
Dari Thariq bin Syihab radhiyallahu ’anhu
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ada seorang lelaki
yang masuk surga gara-gara seekor lalat dan ada pula lelaki lain yang masuk
neraka gara-gara lalat.” Mereka (para sahabat) bertanya: “Bagaimana hal itu
bisa terjadi wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Ada dua orang lelaki yang
melewati daerah suatu kaum yang memiliki berhala. Tidak ada seorangpun yang
diperbolehkan melewati daerah itu melainkan dia harus berkorban (memberikan
sesaji) sesuatu untuk berhala tersebut. Mereka pun mengatakan kepada salah satu
di antara dua lelaki itu: 'Berkorbanlah.' Maka dia menjawab: 'Aku tidak punya
apa-apa untuk dikorbankan.' Maka mereka mengatakan: 'Berkorbanlah, walaupun
hanya dengan seekor lalat.' Maka dia pun berkorban dengan seekor lalat,
sehingga mereka pun memperbolehkan dia untuk lewat dan meneruskan perjalanan.
Karena sebab itulah dia masuk neraka. Dan mereka juga mengatakan kepada orang
yang satunya: 'Berkorbanlah.' Dia menjawab: 'Tidak pantas bagiku berkorban
untuk sesuatu selain Allah ‘Azza Wa Jalla.' Maka mereka pun memenggal lehernya,
dan karena itulah dia masuk surga.'" (HR. Ahmad)
Adapun orang-orang yang ikut
berpartisipasi dan membantu terselenggaranya acara ritual pemberian sesaji
tersebut dalam segala bentuknya, adalah termasuk perbuatan dosa yang sangat
besar, karena termasuk tolong-menolong dalam perbuatan maksiat yang sangat
besar kepada Allah, yaitu perbuatan syirik. Allah Subhanahu Wa Ta’ala
berfirman:
...Dan tolong-menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan janganlah tolong-menolong dalam berbuat
dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah
amat berat siksa-Nya. (QS. Al-Maidah: 2)
30. Menyembelih hewan
dengan menyebut nama selain Allah dan bernazar untuk selain Allah
Menyembelih hewan dengan menyebut nama
selain Allah, misalnya dengan menyebut nama "Husein" yang sering dilakukan oleh
orang-orang Syiah, khususnya Rafidhah, adalah termasuk perbuatan syirik
meskipun sembelihan itu ditujukan untuk beribadah kepada Allah. Hal ini
berdasarkan firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala dan hadits berikut:
Katakanlah: "Sesungguhnya shalatku,
sembelihanku, hidupku dan matiku hanyalah karena Allah, Rabb semesta alam. (QS.
Al-An'am: 162)
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai,
darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah...
(QS. Al-Maidah: 3)
Maka makanlah binatang-binatang (yang
halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, jika kamu beriman kepada
ayat-ayat-Nya. (QS. Al-An'am: 118)
Dan janganlah kamu memakan
binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya.
Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya
syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan
jika kamu menuruti mereka (menghalalkan bangkai), sesungguhnya kamu tentulah
menjadi orang-orang yang musyrik. (QS. Al-An'am: 121)
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhu bahwa
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Terlaknatlah orang
yang mencela ayahnya, terlaknatlah orang yang mencela ibunya. Terlaknatlah
orang yang menyembelih bukan karena Allah, terlaknatlah orang yang merubah
batas tanah, terlaknatlah orang yang membisu (tidak mau memberi petunjuk)
terhadap orang yang buta yang mencari jalan. Terlaknatlah orang yang
menyetubuhi binatang dan terlaknatlah orang yang berbuat seperti perbuatan kaum
Luth." (HR. Ahmad)
Adapun nazar adalah perbuatan seorang mukallaf
(orang yang sudah dikenai beban syariat) yang mewajibkan dirinya sendiri untuk
mengerjakan suatu ibadah karena Allah. Nazar tidak boleh diarahkan kepada
selain Allah. Apabila diarahkan kepada selain Allah maka itu termasuk syirik,
umpamanya bernazar kepada kuburan wali atau tempat-tempat yang dianggap keramat
bahwa apabila hajatnya terkabul akan menyembelih seekor kambing atau akan
berpuasa tujuh hari berturut-turut. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
Apa saja yang kamu nafkahkan atau apa saja
yang kamu nazarkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya. Orang-orang yang
berbuat zalim tidak ada seorang penolongpun baginya. (QS. Al-Baqarah: 270)
...dan hendaklah mereka menyempurnakan
nazar-nazar mereka... (QS. Al-Hajj: 29)
Mereka menunaikan nazar dan takut akan
suatu hari yang azabnya merata di mana-mana. (QS. Al-Insan: 76)
31. Syirik niat dan
keinginan
Yaitu melakukan suatu amal ibadah dengan
niat karena selain Allah. Penyimpangan niat yang banyak menimpa manusia
dan menodai kesucian ibadah mereka, selain perbuatan riya (lihat no. 40),
adalah terselipnya niat dan keinginan duniawi pada amal ibadah yang dikerjakan
manusia. Penyimpangan ini penting untuk diketahui, karena sering menimpa
seseorang yang berbuat amal kebaikan tapi dia tidak menyadari terselipnya niat
tersebut, padahal ini termasuk bentuk kesyirikan yang bisa menodai bahkan
merusak amal kebaikan seorang hamba. Hal ini sebagaimana firman Allah Subhanahu
Wa Ta'ala:
Barangsiapa yang menghendaki kehidupan
dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan
mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan.
Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan
lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah
apa yang telah mereka kerjakan. (QS. Huud: 15-16)
Ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa amal
saleh yang dilakukan dengan niat duniawi adalah termasuk perbuatan syirik yang
bisa merusak kesempurnaan tauhid yang semestinya dijaga dan perbuatan ini bisa
menggugurkan amal kebaikan. Bahkan perbuatan ini lebih buruk dari perbuatan
riya (memperlihatkan amal saleh untuk mendapatkan pujian dan sanjungan), karena
seseorang yang menginginkan dunia dengan amal saleh yang dilakukannya,
terkadang keinginannya itu menguasai niatnya dalam meyoritas amal saleh yang
dilakukannya. Ini berbeda dengan perbuatan riya, karena riya biasanya hanya
terjadi pada amal tertentu dan bukan pada mayoritas amal, itupun tidak
terus-menerus. Meskipun demikian, orang yang yang beriman tentu harus
mewaspadai semua keburukan tersebut.
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dalam
kitab At-Tauhid mencantumkan sebuah bab khusus tentang masalah penting
ini, yaitu bab: Termasuk (perbuatan) syirik adalah jika seseorang menginginkan
dunia dengan amal (saleh yang dilakukan)nya.
Imam Ibnul Qayyim dalam kitab
Al-Jawaabul Kaafi hal. 94 menggambarkan hal tersebut dengan berkata:
“Adapun kesyirikan (penyimpangan) dalam niat dan keinginan (manusia) maka itu
(ibaratnya seperti) lautan (luas) yang tidak bertepi dan sangat sedikit orang
yang selamat dari penyimpangan tersebut. Maka barangsiapa yang menginginkan
dengan amal kebaikannya selain wajah/keridhaan Allah (ikhlas), meniatkan
sesuatu selain untuk mendekatkan diri kepada-Nya, atau selain mencari pahala
dari-Nya maka sungguh dia telah berbuat syirik dalam niat dan keinginannya.
Ikhlas adalah dengan seorang hamba mengikhlaskan untuk Allah (semata) semua
ucapan, perbuatan, keinginan dan niatnya.”
32. Mencintai sesuatu
selain Allah seperti atau lebih dari mencintai Allah
Yaitu cinta kepada sesuatu selain Allah
dengan membentuk sikap pengabdian, kepasrahan, dan kerendahan. Cinta semacam
itu tidak boleh ditujukan kepada selain Allah. Barangsiapa yang mengarahkannya
kepada selain Allah, maka dia telah terjerumus ke dalam perbuatan syirik.
Misalnya kita mencintai seseorang, kita rela melakukan apa saja demi orang itu,
sampai-sampai terkadang lupa dengan Allah, lupa beribadah, atau malah berbuat
maksiat. Padahal Allah-lah yang menciptakan cinta, dan cinta yang sempurna
hanyalah pantas ditujukan kepada Allah semata. Allah Subhanahu Wa Ta'ala
berfirman:
Dan di antara manusia ada orang-orang yang
menjadikan andad (tandingan-tandingan) selain Allah; mereka mencintainya
sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat
cintanya kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim
(syirik) itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa
kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya
(niscaya mereka menyesal). (QS. Al-Baqarah: 165)
Lalu tidak bolehkah kita mencintai
orangtua, istri, anak, saudara, harta, rumah, kendaraan?
Tentu saja boleh, dan itulah yang disebut
cinta naluriah (mahabbah thabi’iyyah). Hal itu dibenarkan karena
bersifat fitri. Akan tetapi cinta kepada semuanya itu tidak boleh melebihi
cinta kepada Allah dan bahkan cinta kepada semuanya itu haruslah dipayungi dan
dibimbing dengan cinta kepada Allah.
Begitu pula, kecintaan kepada semua hal
itu harus berakhir manakala mulai bertentangan dengan tuntutan cinta kepada
Allah. Aplikasinya adalah seperti yang digambarkan dalam firman Allah Subhanahu
Wa Ta'ala:
Dan Kami wajibkan manusia (berbuat)
kebaikan kepada dua orang ibu-bapaknya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan
Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah
kamu mengikuti keduanya. Hanya kepada-Ku-lah kembalimu, lalu Aku kabarkan
kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (QS. Al-‘Ankabut: 8)
Katakanlah: "Jika bapa-bapa, anak-anak,
saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu
usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang
kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan rasul-Nya dan daripada
berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan
keputusan-Nya." Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang
fasik. (QS. At-Taubah: 24)
33. Memakai pelet dan
susuk
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu
berkata bahwa beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
Sesungguhnya mantera-mantera
(jampi-jampi), jimat-jimat, dan tiwalah adalah syirik. (HR. Ahmad, Abu
Dawud, dan Ibnu Majah)
Tiwalah yang dimaksud dalam hadits
tersebut adalah sesuatu yang dibuat dan diklaim bisa membuat perempuan lengket
pada suami dan sebaliknya (Kitab Tauhid, Syaikh Muhammad At Tamimi).
Jadi bisa saja tiwalah itu berupa pelet, susuk, dan bulu perindu. Namun
sebagian ulama mengatakan bahwa tiwalah yang dimaksud adalah jika berasal dari
sihir (Syarh Kitab Tauhid, hal. 62). Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan
bahwa tiwalah ini diperoleh dari jalan sihir (Fathul Bari, 10:196).
Sehingga jika pemikat hati atau pemikat cinta berupa pelet, susuk, dan bulu
perindu, maka termasuk dalam kategori tamimah (jimat-jimat). Dan jimat-jimat
itu terlarang sebagaimana telah disebutkan pula dalam hadits di atas.
Memakai tiwalah (pelet dan susuk) termasuk
syirik karena di dalamnya ada keyakinan untuk menolak bahaya dan mendatangkan
manfaat dari selain Allah (Fathul Majid, 139). Syaikh Muhammad bin
Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Tiwalah tergolong syirik
karena tiwalah bukanlah sebab syar’i (yang didukung dalil) dan bukan pula sebab
qodari (yang dibuktikan melalui eksperimen).” (lihat no. 36).
Lalu bagaimana jika yang memasang susuk
itu seorang "kyai" atau menggunakan ayat-ayat Al Quran?
Syaikh Bin Baz rahimahullah
memberikan komentar terhadap perkataan Ibnu Hajar yang menyebut tiwalah sebagai
bagian dari sihir: “Meskipun yang melakukan (memasang susuk) itu mengaku
sebagai muslim yang fanatik, mereka menulis Al Quran dan asma Allah hanya
sebagai bentuk pelecehan terhadapnya, karena mereka menulis seperti caranya
orang-orang Yahudi, yakni memisah-misahkan hurufnya (seperti dalam mujarobat,
pen) dengan tinta khusus dan mencampurinya dengan mantra-mantra jahiliyyah.”
Dengan kata lain para pemasang susuk telah
melakukan sihir, sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga
bersabda: "Barangsiapa melakukan sihir, maka dia telah berbuat
syirik." (lihat no. 24).
Alasan "yang penting niatnya"
tidak bisa mengubah status haram menjadi halal. Karena niat baik hanya akan
mendapat nilai baik jika jenis amal dan cara mengerjakannya juga baik dan benar
dalam pandangan syar’i. Seperti seorang wanita tidak dibenarkan menjadi pelacur
meskipun tujuannya adalah untuk menghidupi keluarga yang menjadi tanggungannya.
Sedangkan melakukan kesyirikan apapun tujuannya lebih buruk dari itu, karena
syirik adalah dosa yang paling besar.
34. Setia dan taat kepada
Pancasila atau ideologi sekuler lainnya
Salah satu ideologi sekuler yang dianut
umat manusia adalah Pancasila.
Pancasila merupakan dasar negara Indonesia yang tercantum dalam pembukaan
Undang Undang Dasar 1945. Selain sebagai dasar negara, Pancasila juga sebagai
sumber dari segala sumber hukum di negara Indonesia. Artinya bahwa posisi
Pancasila diletakkan pada posisi tertinggi dalam hukum di Indonesia, meskipun
sejak Indonesia merdeka masih menggunakan hukum peninggalan Belanda, posisi
Pancasila dalam hal ini menjadikan pedoman dan arah bagi setiap bangsa
Indonesia dalam menyusun dan memperbaiki kondisi hukum di Indonesia. Mengingat
bahwa hukum terus berubah dan mengikuti perkembangan masyarakat, maka setiap
perubahan yang terjadi akan selalu disesuaikan dengan cita-cita bangsa
Indonesia yang mengacu pada Pancasila.
Pancasila sebagai sumber dari segala
sumber hukum diatur dalam pasal 2 Undang Undang No. 10 tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menyatakan bahwa Pancasila
merupakan sumber dari segala sumber hukum negara.
Sementara itu, Allah menyatakan dengan
tegas bahwa Dia-lah Yang berhak menetapkan hukum dan Dia-lah Pemberi keputusan
yang paling baik, sebagaimana firman-Nya Subhanahu Wa Ta'ala:
...Menetapkan hukum itu hanyalah hak
Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang
paling baik." (QS. Al-An'am: 57)
...Menetapkan hukum itu hanyalah hak
Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak mengibadati selain Dia.
Itulah dien (peraturan/hukum) yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui." (QS. Yusuf: 40)
...Menetapkan hukum itu hanyalah hak
Allah; kepada-Nya-lah aku bertawakkal dan hendaklah kepada-Nya saja
orang-orang yang bertawakkal berserah diri." (QS. Yusuf: 67)
...dan Dia tidak mengambil seorangpun
menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan hukum (keputusan)." (QS. Al-Kahfi: 26)
...Barangsiapa yang tidak memutuskan
perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang
yang kafir. (QS. Al-Maidah: 44)
Apakah hukum jahiliyah yang mereka
kehendaki? Dan siapakah yang lebih baik hukumnya daripada Allah bagi
orang-orang yang yakin? (QS. Al-Maidah: 50)
Hai orang-orang yang beriman, ...apabila
kamu berlainan pendapat tentang sesuatu (apapun), maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al Quran) dan Rasul (As Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian... (QS. An-Nisa: 59)
Berdasarkan firman Allah tersebut,
barangsiapa yang setia dan
taat kepada Pancasila, meskipun rajin shalat, puasa, dzikir, dan
sedekah, maka dia terjerumus ke dalam perbuatan syirik akbar yang menghapuskan
seluruh amal ibadahnya. Hal ini karena Pancasila ditempatkan sebagai sumber
dari segala sumber hukum, yang berarti bahwa setiap penerapan hukum apapun,
termasuk hukum Allah, harus tunduk kepada dan sesuai dengan Pancasila. Ini
jelas kezaliman yang besar dan pelecehan yang nyata terhadap hukum Allah.
35. Menjadi pemerintah
yang berbaiat/bersumpah memegang teguh UUD 1945 atau hukum jahiliyah lainnya
UUD 1945 dan turunannya adalah hukum jahiliyah
yang diberlakukan di negara Indonesia. Hukum jahiliyah adalah tandingan bagi
hukum Allah (lihat no. 18 dan 27). Sebelum melaksanakan tugas sebagai
pemerintah, baik presiden,
gubernur, bupati, maupun walikota diharuskan berbaiat/bersumpah memegang teguh
UUD 1945 dan menjalankan segala undang-undang dan peraturan turunannya, hal ini
sebagaimana diatur dalam UU No. 27 Tahun 2009 dan Permendagri No. 35 Tahun
2013. Adapun isi baiat/sumpah selengkapnya adalah sebagai berikut:
“Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi
kewajiban Presiden/Gubernur/Bupati/Walikota dengan sebaik-baiknya dan
seadil-adilnya, memegang teguh UUD 1945 dan menjalankan segala undang-undang
dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada nusa dan
bangsa.”
Konsekuensi dari ketaatan kepada sumpahnya
berarti mencampakkan sebagian perintah/hukum Allah seperti qishash, diyat, hudud, jizyah,
hisbah, dan lainnya, padahal Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
Sesungguhnya Rabb kamu ialah Allah yang
telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas
'Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan
(diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing)
tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah
hak Allah... (QS. Al-A'raf: 54)
Allah telah menciptakan alam semesta ini
dengan segala kebesaran-Nya, yang menguasai alam ini, mengaturnya dengan
perintah-Nya, mengendalikannya dengan kekuasaan-Nya. Dia-lah yang berhak
menjadi Rabb (Pengatur) bagi manusia. Kalau tidak ada pencipta lain bersama
Dia, maka tidak ada pula yang berhak memerintah bersama Dia (lihat Tafsir Fi
Zhilalil Qur'an IV hal. 324).
Dengan demikian, menjadi pemerintah yang
berbaiat/bersumpah memegang teguh UUD 1945 dan menjalankan
segala undang-undang dan peraturan turunannya termasuk perbuatan
syirik akbar karena hal itu sama saja dengan bersumpah meninggalkan sebagian
perintah/hukum Allah dan menggantinya dengan perintah/hukum buatan manusia
(misal: KUHP).
36. Percaya pada
azimat/jimat
Mengenakan jimat dan mempercayainya dapat
memberikan manfaat atau melindungi dari bahaya dan menolak bala’ adalah syirik
akbar karena menyamakan Allah dengan makhluk dalam perkara yang merupakan
kekhususan bagi Allah. Adapun mengenakan jimat dan meyakini Allah yang
memberikan manfaat atau melindungi dari bahaya dan menolak bala’, sedang jimat
itu hanya sebagai sebab adalah syirik asghar. Hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu
Wa Ta'ala dan hadits-hadits berikut:
Dan jika Allah menimpakan sesuatu
kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang menghilangkannya melainkan Dia
sendiri. Dan jika Dia mendatangkan kebaikan kepadamu, maka Dia Maha Kuasa atas
tiap-tiap sesuatu. (QS. Al-An’am: 17)
Dari ‘Uqbah bin 'Amir Al-Juhani
radhiyallahu ’anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa menggantungkan jimat, maka ia telah melakukan syirik.” (HR. Ahmad
dan Hakim)
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu
’anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya
mantra-mantra, jimat-jimat dan pelet adalah syirkun.” (HR. Ahmad, Abu
Dawud, dan Ibnu Majah)
Dalam hadits tersebut kata syirik dalam
bentuk nakirah: "syirkun" (tidak ada alif lam di awalnya). Yang
dimaksud di sini adalah syirik asghar (lihat Rasa-il fil ‘Aqidah, Dr.
Muhammad bin Ibrahim Al Hamad, hal. 437-439).
Mengambil sebab untuk meraih suatu kemanfaatan
dan menolak kemudaratan tidak dilarang dalam Islam, bahkan dianjurkan. Tetapi
dengan syarat, sebab tersebut adalah sebab syar’i
atau sebab qodari.
Maka menjadikan sesuatu sebagai sebab, padahal ia bukanlah sebab syar’i dan
bukan pula sebab qodari adalah perbuatan syirik (lihat penjelasan Syaikh
Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah pada Al Qoulul Mufid,
1/168).
Sebab syar’i maksudnya adalah sebab yang
dijelaskan oleh dalil syar’i. Contoh sebab syar'i: membaca surat Al-Fatihah
untuk orang sakit adalah sebab kesembuhannya. Sedangkan yang dimaksud dengan
sebab qodari adalah sebab yang Allah ciptakan sebagai sebab di alam ini dan
dapat diketahui dengan dua cara: pertama, dengan dalil syar’i dan kedua, dengan
penelitian ilmiah dan percobaan. Contoh sebab qodari dengan dalil syar'i: madu,
habbatus sauda’, kencing unta untuk obat sakit perut, bekam dan lain-lain
adalah sebab-sebab kesembuhan. Adapun contoh sebab qodari dengan penelitian
ilmiah dan percobaan: obat-obat antibiotik kedokteran modern yang merupakan
sebab untuk menekan atau menghentikan perkembangan bakteri atau mikroorganisme
berbahaya yang berada di dalam tubuh.
37. Percaya pada
tathayur
Tathayur (perasaan sial) yaitu meyakini
adanya kesialan (thiyarah) karena sesuatu. Seperti misalnya pada hari-hari
tertentu yang terkait dengan hari kelahiran atau weton
tertentu, konon akan merugi jika keluar bekerja atau berdagang pada
hari Selasa. Atau akan tidak awet jika mulai bekerja pada hari kamis. Ada juga
yang dihitung berdasarkan tanggal lahir dan wetonnya lalu dia tidak boleh
berjalan ke arah utara pada hari tertentu dan tak boleh ke barat pada hari
tertentu lainnya.
Al-Qarafi rahimahullah berkata:
“Tathayur adalah persangkaan jelek yang muncul dalam hati, sedangkan thiyarah
adalah perbuatan yang dilakukan sebagai akibat dari persangkaan itu, yaitu
larinya dia dari urusan yang akan dilakukan atau perbuatan yang lain.” (lihat Al
Furuq 4/238).
Dari Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu
'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Thiyarah
adalah syirik, thiyarah adalah syirik, thiyarah adalah syirik, tidak ada
seorang pun di antara kita melainkan (dalam hatinya terdapat hal ini), hanya
saja Allah menghilangkannya dengan tawakal kepada-Nya." (HR. Abu Dawud dan
Tirmidzi)
Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ’anhu
bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Siapa yang
membatalkan hajatnya karena thiyarah (kesialan), maka ia telah berbuat
syirik." Para sahabat bertanya: “Apakah tebusan daripada perbuatan
tersebut?” Beliau menjawab: “Ucapkanlah: 'Ya Allah, tidak ada sesuatu kebaikan
kecuali kebaikan-Mu, tidak ada kesialan kecuali kesialan yang datang
daripada-Mu, dan tidak ada ilah melainkan Engkau.'" (HR. Ahmad)
Thiyarah termasuk syirik karena keyakinan
bahwa ia bisa mendatangkan manfaat atau menolak mudharat. Keyakinan seperti ini
bertentangan dengan firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala:
Jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan
kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah
menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak kurnia-Nya. Dia
memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara
hamba-hamba-Nya dan Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS.
Yunus: 107)
Contoh tathayur lainnya percaya pada
tanda-tanda kesialan tertentu, misalnya ada burung gagak hitam pasti di kampung
ini akan ada yang meninggal dunia atau terkena wabah. Demikian
juga percaya pada tempat-tempat tertentu menjadi angker atau sial karena
peristiwa tertentu misalnya tempat bekas kecelakaan, sehingga tikungan tersebut
menjadi angker.
Dari Imran bin Husain bin Ali radhiyallahu
’anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Bukan
termasuk golongan kami yang melakukan atau meminta tathayur (menentukan nasib
sial berdasarkan tanda-tanda benda, burung, dan lain-lain), yang melakukan
praktek dukun atau yang didukuni, yang menyihir atau meminta disihirkan, dan
barangsiapa mendatangi kahin (tukang ramal) dan membenarkan apa yang ia
katakan, maka sesungguhnya ia telah kafir terhadap apa yang diturunkan kepada
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam." (HR. Bazzar)
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu bahwa
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Tidak termasuk
golongan kami orang yang bertathayur (merasa sial karena sesuatu) atau meminta
ditathayurkan (ditebak kesialannya), atau menenung atau minta ditenungkan,
menyihir atau minta disihirkan." (HR. Thabrani)
38. Mencela masa/waktu
(apalagi mencela Allah, ayat-ayat-Nya, atau rasul-Nya)
Mencela masa atau cuaca dengan meyakini
bahwa ia adalah pelaku utama terjadinya keburukan sesuatu, ini hukumnya adalah
syirik akbar karena dia meyakini adanya pencipta lain selain Allah dan
menyandarkan terjadinya suatu peristiwa kepada selain Allah. Umpamanya perkataan:
“Aku benci musim kemarau karena ia
menimbulkan bencana kelaparan.”
“Tahun ini merupakan tahun pembawa
kesialan.”
"Sial banget hari ini, kami selalu
kalah jika bertanding pas hari Rabu."
"Bulan Suro, bulan penuh
petaka!"
Bila mengucapkan celaan tersebut dengan
diiringi keyakinan bahwa ia adalah pelaku utama terjadinya kelaparan atau
musibah lainnya maka hal ini adalah syirik akbar (lihat rincian Syaikh Muhammad
bin Shalih Al 'Utsaimin rahimahullah dalam Al Qoulul Mufid ’ala
Kitabit Tauhid).
Mencela waktu adalah kebiasaan orang-orang
musyrik di masa lalu. Mereka menyatakan bahwa yang membinasakan dan
mencelakakan mereka adalah waktu. Allah pun mencela perbuatan mereka ini
sebagaimana firman-Nya Subhanahu Wa Ta'ala:
Dan mereka berkata: "Kehidupan ini
tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak
ada yang akan membinasakan kita selain masa (waktu)." Dan mereka
sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah
menduga-duga saja. (QS. Al-Jatsiyah: 24)
Begitu juga dalam sebuah Hadits Qudsi
disebutkan mengenai larangan mencela waktu:
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu bahwa
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda: ”Allah ’Azza Wa Jalla
berfirman: ’Aku disakiti oleh anak Adam. Dia mencela waktu, padahal Aku adalah
(pengatur) waktu, Aku-lah yang membolak-balikkan malam dan siang.'”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Sedangkan mencela Allah, ayat-ayat-Nya,
atau rasul-Nya dikategorikan sebagai kekufuran yang mengeluarkan dari agama.
Sama saja apakah si pelakunya melakukan itu ketika marah atau dalam keadaan
rela. Dan sama saja apakah ia melakukan itu serius atau bercanda. Allah Subhanahu
Wa Ta'ala berfirman:
Dan jika kamu tanyakan kepada mereka
(tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan manjawab:
"Sesungguhnya kami hanyalah bersenda-gurau dan bermain-main saja."
Katakanlah: "Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan rasul-Nya kamu selalu
berolok-olok?" Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah
beriman... (QS. At-Taubah: 65-66)
Demikianlah balasan mereka itu neraka
Jahannam, disebabkan kekafiran mereka dan disebabkan mereka menjadikan
ayat-ayat-Ku dan rasul-rasul-Ku sebagai olok-olok. (QS. Al-Kahfi: 106)
39. Bersumpah dengan
menyebut selain nama Allah
Bersumpah dengan nama Allah adalah bentuk
mengagungkan Allah. Oleh karenanya, bersumpah dengan selain nama Allah dinilai
sebagai bentuk tindakan lancang kepada Allah dan melecehkan kesempurnaan dan
keagungan Allah. Karena seorang insan jika ingin menegaskan bahwa dirinya benar
dalam perkataannya atau berupaya membersihkan diri dari tuduhan yang
dialamatkan kepadanya maka dia akan bersumpah dengan sesuatu yang paling agung
dalam hatinya. Adakah di alam semesta ini suatu yang lebih agung dibandingkan
dengan Allah? Oleh karena itu, bersumpah dengan selain nama Allah tergolong
kesyirikan sebab dalam sumpah tersebut terkandung pengagungan kepada selain
Allah. Sedangkan pengagungan termasuk jenis ibadah yang tidak boleh ditujukan
kecuali hanya kepada Allah 'Azza Wa Jalla.
Yang dimaksud bersumpah dengan menyebut
selain nama Allah -yang tergolong syirik- mencakup segala sesuatu selain Allah,
baik itu Ka'bah, rasul, malaikat, langit, dan lain-lain. Misalnya dengan
mengatakan “demi Ka'bah”, atau “demi Rasulullah”, “demi Jibril”, "demi
langit yang luas", "demi bangsa dan negara", "demi
kehormatanku", "demi cintaku kepadamu", dan seterusnya.
Dari Sa’ad bin Ubadah radhiyallahu ’anhu,
suatu ketika Ibnu Umar radhiyallahu ’anhu mendengar seorang yang bersumpah
dengan mengatakan: "Tidak, demi Ka’bah." Maka Ibnu Umar berkata
kepada orang tersebut: "Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: 'Barangsiapa yang bersumpah dengan selain Allah maka dia telah
melakukan kesyirikan.'" (HR. Abu Dawud)
Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ’anhu
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang
bersumpah dengan selain nama Allah, maka ia telah berbuat kufur atau syirik.”
(HR. Ahmad, Tirmidzi, dan Hakim)
Dari Umar bin Khattab radhiyallahu ’anhu
bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa yang
bersumpah dengan menyebut selain nama Allah, maka sungguh dia telah kafir atau
musyrik." (HR. Ibnu Abi Hatim)
Bersumpah dengan menyebut selain nama
Allah adalah syirik akbar jika diiringi keyakinan bahwa sesuatu yang disebutkan
dalam sumpah tersebut sederajat dengan Allah dalam pengagungan dan dalam
keagungan. Jika tidak ada unsur ini maka hukumnya adalah syirik asghar (Al Imam
Adz Dzahabi dalam kitab Al Kabair menyebutkan beberapa bentuk syirik
asghar antara lain bersumpah dengan selain nama Allah dan percaya pada
tathayur).
40. Berbuat riya dan
sum'ah
Yang dimaksud riya adalah melakukan suatu
amalan agar orang lain bisa melihatnya kemudian memuji dirinya. Termasuk ke
dalam riya yaitu sum’ah, yakni melakukan suatu amalan agar orang lain mendengar
apa yang kita lakukan, sehinga pujian dan ketenaran pun datang. Riya dan semua
derivatnya merupakan perbuatan dosa dan merupakan sifat orang-orang munafik. Al
Quran dan As Sunnah telah memperingatkan tentang riya dan sum'ah ini:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti
(perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya
kepada manusia... (QS. Al-Baqarah: 264)
Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia
biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa sesungguhnya Ilah
kamu itu adalah Ilah yang Esa." Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan
Rabb-nya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan
seorangpun dalam beribadat kepada Rabb-nya. (QS. Al-Kahfi: 110)
Daru Jundub bin Abdullah bin Sufyan
radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
"Barangsiapa yang berbuat sum'ah maka Allah Subhanahu Wa Ta'ala akan
menyingkap hakikat dirinya, dan barangsiapa yang berbuat riya maka Allah
Subhanahu Wa Ta'ala akan membuka tabir kejelekannya." (HR. Bukhari dan
Muslim)
Dari Abu Sa'id Al Khudri radhiyallahu
’anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Maukah
kuberitahukan kepada kalian tentang sesuatu yang lebih tersembunyi di sisiku
atas kalian daripada Al Masih Ad Dajjal?" Para shahabat menjawab:
"Kami mau, wahai Rasulullah." Rasulullah bersabda: ”Syirik khafi
(tersembunyi), seseorang bangkit untuk melaksanakan shalatnya, lalu menghiasi
(memperindah) shalatnya karena ia tahu ada seseorang yang
memperhatikannya." (HR. Ibnu Majah)
Riya ada dua jenis. Jenis yang pertama
hukumnya syirik akbar. Hal ini terjadi jika seseorang melakukan seluruh amalnya
agar dilihat manusia, dan tidak sedikit pun mengharap wajah/keridhaan Allah.
Dia bermaksud bisa bebas hidup bersama kaum muslimin, menjaga darah dan
hartanya. Inilah riya yang dimiliki oleh orang-orang munafik. Allah Subhanahu
Wa Ta'ala berfirman tentang keadaan mereka:
Sesungguhnya orang-orang munafik itu
menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri
untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat)
di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.
(QS. An-Nisaa: 142)
Adapun yang kedua adalah riya yang
terkadang menimpa orang yang beriman. Sikap riya ini terkadang muncul dalam
sebagian amal. Seseorang beramal karena Allah dan juga diniatkan untuk selain
Allah. Riya jenis ini merupakan perbuatan syirik asghar. Syirik asghar adalah
hukum asal riya sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut:
Dari Mahmud bin Labid radhiyallahu ’anhu
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya yang
paling aku takutkan atas kalian adalah syirik asghar.” Mereka (para Sahabat)
bertanya: “Apakah syirik asghar itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Yaitu
riya. Allah akan berfirman pada hari kiamat nanti ketika Ia memberi ganjaran
amal perbuatan hamba-Nya: 'Pergilah kalian kepada orang yang kalian berlaku
riya terhadapnya. Lihatlah apakah kalian memperoleh balasan dari mereka.'"
(HR. Ahmad, Baghawi, dan Thabrani)
Keterangan:
* Syirik
akbar atau syirik besar adalah perbuatan mempersekutukan Allah yang
mengeluarkan pelakunya dari Islam, menghapuskan seluruh amal ibadahnya,
dan menjadikannya kekal di dalam neraka.
* Syirik
asghar atau syirik kecil adalah perbuatan mempersekutukan Allah yang
tidak sampai mengeluarkan pelakunya dari Islam, namun ia berdosa dengan
dosa yang paling besar lebih besar daripada dosa-dosa besar perbuatan
maksiat seperti membunuh, mencuri, berzina, dan minum khamar (minuman
keras).
.Catatan:
• Empat Puluh Contoh Perbuatan Syirik
ini merupakan hasil rangkuman dari berbagai sumber untuk membantu
memudahkan identifikasi perbuatan-perbuatan syirik sehingga diharapkan
kaum muslimin dapat terhindar darinya.
• Ada 3
(tiga) syarat diterimanya amal ibadah: (1) Mukmin, yaitu bersih dari
syirik dan kufur kepada thaghut; (2) Ikhlas, yaitu semata-mata hanya
karena Allah; dan (3) Mutaba’ah, yaitu sesuai dengan tuntunan Rasul.
.
apakah ada negara di dunia ini yang betul-betul menggunakan kitab allah dan sunnah nabi 100% ?
ReplyDelete